Page 47 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 47
20 Herman Soesangobeng
kedudukan hukum orang sebagai warga Negara Romawi
(patricians) karena menduduki dan menguasai tanah dengan
maksud (usus) serta niat (animus) memilikinya. Artinya,
pendudukan dan penguasaan yang tidak disertai dengan
maksud dan niat memiliki, tidak melahirkan hak milik
(domain), namun hanya hubungan pemanfaatan untuk
menikmati hasil tanah, yang sejak tahun 111 SM disebut
hubungan keagrariaan dan diatur berdasarkan hukum agraria
(lex agraria).
7. Sumber hukum Negara menjadi pemilik tertinggi atas
tanah:
Kewenangan dan kekuasaan Negara sebagai pemilik tanah
tertinggi karena kedaulatan hukumnya itu, menyebabkan
Negara berkuasa mengatur serta membatasi hak kebebasan
penggunaan kemutlakan hak milik oleh pribadi hukum
yang berstatus sebagai warga Negara Romawi (patrician).
Kewenangan dan kekuasaan Negara untuk mengatur serta
membatasi kemutlakan hak milik pribadi itu disebut ‘dominium
eminens’. Suatu hak yang dalam sistim hukum Anglo-Saxon
di Amerika disebut ‘right of eminent domain’. Berdasarkan
ajaran ‘dominium eminens’ inilah, maka Negara berwenang
dan berkuasa melakukan pencabutan hak milik, yang
disebut ‘right of expropriation’ dalam sistim hukum Amerika,
atau ‘onteigenings recht’ menurut sistim hukum BW-Belanda.
Jadi kewenangan dan kekuasaan ‘mencabut hak keperdataan
pribadi’ (right of expropriation) atas tanah milik warga Negara,
hanya boleh dilakukan apabila Negara adalah pemegang
hak milik yang sempurna dan mutlak. Artinya, bilamana
Negara hanya mempunyai hak ‘kepunyaan’ (jus possessionis
dan jus possessidendi), maka Negara tidak berkuasa dan tidak
berwenang mencabut hak milik pribadi dari warga Negaranya.
Karena kekuasaan hukum dari Negara atas tanah, lebih rendah
dan tidak sempurna serta tidak mutlak dibandingkan hak
milik (domain) yang dimiliki warga negaranya.