Page 50 - Penegakan Hukum Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
P. 50
memungut hasil tanah. 49
Dalam hukum adat yang masih menimbulkan perbedaan yakni
mengenai kriteria pembatasan waktu atau jangka waktu penelantara
tanah tergantung dengan asal daerah yang menjadi penelitian. beberapa
istilah dan kreteria tanah terlantar diberbagai daerah diinventarisasi
disampaikan oleh Suhariningsih: 50
3.) Di Suku Bugis Sulawesi Selatan, tanah terlantar disebut dengan istilah
Tona Kabu, Tona Kallanggelung Amo, adapun kriteria tanah terlantar
adalah tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 Tahun atau lebih,
patokannya pematang-pematangnya tidak kelihatan lagi, dan semua
tanda-tandanya sudah hilang secara keseluruhan.
4.) Di Bengkulu istilah tanah terlantar disebut dengan tanah Sakueh
Dajurawi, kreteria tanah terlantarnya adalah tanah ladang yang
ditinggalkan sesudah menuai.
5.) Di Jambi, tanah terlantar disebut dengan istilah Balukar Toewo, yaitu
tanah ladang dari rimba setelah 3 Tahun menjadi rimba rawa, tanah
waha setelah 5 Tahun.
6.) Di Sumatera Utara, istilah tanah terlantar disebut dengan istilah
Worter Grounden, Soppalan, Telum yaitu tanah bekas yang
ditinggalkan dan telah ditumbuhi alang-alang, tanah bekas ladang
yang belum lama ditinggalkan dan telah menjadi semak, tanah yang
sengaja diterlantarkan untuk penggembalaan ternak masyarakat, dan
tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar.
7.) Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas
pemanfaatan tanah itu selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang
tanah kembali kepada Hak Ulayat.
8.) Di Maluku tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu
10-15 Tahun tidak dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak
Pertuanan (ulayat).
9.) Di Kalimantan Selatan (Banjar), tanah bekas ladang yang ditinggalkan
49 Syahyuti, Nilai-Nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum
Adat di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. 1, Juli 2006, hlm
14-27.
50 Sudirman Saad, Tanah Terlantar Dalam Perspektifhukum Adat, Hukum Islam dan
yurisprudensi, Hukum dan Pembangunan, Vol 21, No 1, Februari 1991, hlm, 50
BAB II Pengaturan Tanah Terlantar 33