Page 52 - Penegakan Hukum Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
P. 52

bernama Sulaith, memberikan kapling tanah kepada Az-Zubair ra di
            Khaibar, yang di dalamnya terdapat pepohonan dan kebun kurma.
            Begitupun  juga  terhadap  Abu  Tsalabah  al-Khusyani  ra,  memberikan
            tanah kepadanya dengan menyertai dengan surat pengkaplingan tanah.
            Pemberian tanah oleh Rasulullah diperuntukan bagi umat Islam yang
            tidak memiliki tanah dan untuk orang-orang yang baru masuk Islam,
            seperti pemberian surat keterangan sekapling tanah kepada pemuka
            Bani Hanifah, Mujja’ah Al-Yamamah di Daerah Ghaurah, Ghurabah,
            dan Hubul. 52
                 Hukum Islam mengenal lembaga tanah terlantar yang disebut
            dengan ardh al-mawaat. Literature Al-Quran dan Al-Hadist menyebut
            tanah dengan  ardh, jamaknya  aradhum, aradh dan arudh. Secara
                                                                             53
            etimologis, ardh berarti “bumi”, tanah, daratan (lawan lautan).
            Sedangkan mawaat, berasal dari kata “mawaatun, yamutu, artinya sunyi
            dari perkampungan dan penduduk, tidak ada ruh padanya, tidak ada
            penduduk atau tidak pernah dimanfaatkan orang. Apabila keduanya
            dirangkaikan “ardh al-mawaat” maka secara lugat artinya adalah bumi
                                54
            mati atau tanah mati.  Dalam buku Nataij al-Afkar, tanah mati yaitu
            tanah yang tidak dimanfaatkan karena ketidakadaan air, serta susah pula
            memanfaatkannya, tidak dimiliki, atau terdapat atas tanah tersebut hak
            milik, tetapi tidak diketahui pemiliknya serta jauh dari perkampungan. 55
                 Dalam fiqh klasik, tanah mati/kosong itu disebut  al-mawat.
            Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tanah  mawat ini.
            Sebagian mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah tanah yang
            tidak ada pemiliknya. Karena itu, tanah yang sudah lama ditinggalkan
            pemiliknya, masih digolongkan tanah mawat, yang lain mengartikannya
            dengan tanah yang tidak pernah dimanfaatkan, lalu ditinggalkan
                                                  56
            pemiliknya, tidak disebut tanah mawat.  Secara terminologi terdapat

            52   Gita Anggraini, Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam
                dalam Merombak Ketidakadilan Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2016), hlm 13-14.
            53   Ria Fitri, Tinjauan Tanah Terlantar Dalam Perspektif Hukum Islam, Kanun Jurnal
                Ilmu Hukum, No. 55, Th. XIII, Desember, 2011, hlm 16.
            54   Ibid
            55  Supriyanto, Op.Cit, hlm 55.
            56   Anton Jamal,  Status  Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan  Tidur,  Jurnal  Ilmiah
                Prodi Muamala At-Tasyri, Vol. I, No. 3, Oktober 2009 - Januari 2010, hlm 242.

                                                   BAB II     Pengaturan Tanah Terlantar  35
   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57