Page 273 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 273
Mobilisasi yang Lamban
penampungan (Bantustans) yang terdiri atas hanya 7 persen
dari keseluruhan luas lahan. Undang-undang Tanah ini
diikuti perundang-undangan baru pada tahun 1936 yang
juga menghapus bagi hasil dan sewa tanah digantikan
dengan sewa tenaga kerja (Sihlongonyane 2005; Thwala
2006). Banyak akademisi yang menunjuk Undang-Undang
Tanah itu sebagai saat yang menentukan dalam prole-
tarianisasi petani Afrika Selatan. Proletarianisasi sangat
mempengaruhi pembangunan agrikultur kapitalis, karena
para petani yang dicabut hak miliknya seringkali menjadi
pekerja upahan di pertanian Kulit Putih atau menjadi
128
pekerja tambang (Ntsebeza 2007) . Pencabutan hak milik
juga mengurangi kompetisi di antara para petani Kulit Putih
dan menciptakan sebuah kelas buruh upahan yang bekerja
di pertanian-pertanian milik Kulit Putih dan di pertam-
bangan-pertambangan. Meskipun Undang-Undang Tanah
tidak berhasil mencabut hak milik semua bangsa Afrika
atau menghentikan mereka dalam memperjuangkan tanah,
Undang-Undang ini mengakibatkan pembedaan yang lebih
jauh di mana kaum tani bangsa Afrika kemudian dima-
sukkan ke dalam satu kelas pemilikan tanah dan para petani
terusir yang pindah ke lahan-lahan tak bertuan, banyak di
antaranya yang menjadi buruh-buruh migran (Hart 2002).
Karena itulah kemudian ketidakmerataan akses atas tanah
menjadi komponen inti ekonomi politik Afrika Selatan
(Thwala 2006).
Migrasi Kulit Hitam ke wilayah perkotaan juga diatur
dan terutama dibatasi dengan ketat. The Buntu Consoli-
dation Act (Undang-Undang Konsolidasi Bantu) di tahun
128 Pada tahun 1980-an, kepadatan penduduk rata-rata untuk adalah
151 orang per kilo meter persegi, bandingkan dengan 19 orang per
kilometer persegi di seluruh Afrika Selatan. Dimana kalangan kulit
Putih Afrika Selatan telah surplus dalam perumahan, sementara
daerah kulit hitam mengalami defisit perumahan (Thwala 2006)
259