Page 277 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 277
Mobilisasi yang Lamban
untuk partisipasi politik, akses untuk sumber daya alam,
dan sebagainya – di luar isu tanah (Greenberg 2004b).
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan tahun 2001,
Lahiff dan Cousins mengungkapkan pendapat bahwa
pemerintah tidak memberi perhatian pada land reform
pedesaan, sebagian di antaranya disebabkan oleh ketiadaan
suara kaum akarrumput tak bertanah yang memberi
tekanan pada pemerintah untuk mengedepankan isu ini.
Namun di tahun yang sama, Gerakan Rakyat Tak Bertanah
(LPM) dibentuk untuk menentang kebijakan dan
pendekatan land reform yang dijalankan pemerintah Afrika
Selatan serta untuk memacu distribusi tanah agar menjadi
sorotan nasional dan internasional. Di tahun 2004, LPM
mencatat keanggotaan (pendefinisiannya bebas) sekitar
100.000 orang, 90 persen di antaranya berlokasi di daerah
pedesaan (Alexander 2004). Jumlah keanggotaan ini sulit
untuk diverifikasi dan mungkin tidak akurat, namun klaim
kekuatan sejumlah itu merupakan strategi yang penting bagi
LPM agar dikenal luas. Pada saat kami mulai berdiskusi
dengan para aktivis dan akademisi tentang LPM di bulan
September 2006, terdapat konsensus umum bahwa LPM
sedang mengalami penurunan, bahkan beberapa menya-
takan lebih jauh bahwa gerakan itu telah mati.
Selanjutnya, kami menganalisa kebangkitan dan ke-
munduran LPM yang terbaca melalui pengalaman dua
tokoh yang tergabung dalam gerakan sejak kelahirannya:
Mangaliso Khubeka, seorang pendiri dan organiser
nasional LPM, dan Ricardo Jacob, anggota staff Surplus
People’s Project (SPP/Proyek Surplus Rakyat) di Cape
Town, sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan
pada tahun 1980 untuk membantu rakyat bertarung
melawan relokasi yang diprakarsai pemerintah saat itu
Afrika Selatan Kulit Hitam, dan anggota dewan penasihat
untuk pembentukan LPM. Wawancara Mangaliso
263