Page 279 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 279
Mobilisasi yang Lamban
bentuk sebuah organisasi “yang bisa menjadi penyuara
keinginan rakyat”.
Pada bulan Agustus tahun 2001, Afrika Selatan
menjadi tuan rumah Konferensi PBB Melawan Rasisme
dan Diskriminasi, sebuah peristiwa yang membuat perha-
tian internasional tertuju pada gerakan sosial Afrika Selatan
dan gerakan sosial secara global. Kelompok-kelompok
pemerhati khusus berdiskusi di Durban selama berminggu-
minggu yang berujung pada peristiwa tersebut. Konferensi
ini “memberi ruang dan kesempatan mobilisasi sumber
daya untuk aksi gabungan pertama secara nasional berbagai
gerakan komunitas independen baru”. Saat itulah LPM
dibentuk dari berbagai kelompok rakyat tak bertanah
(Greenberg 2004b, 18). Dalam periode ini, LPM bersama
sejumlah organisasi yang telah berdiri sebelumnya,
bergabung di bawah bendera Durban Social Forum (Fo-
rum Sosial Durban) untuk mempromosikan kampanye
“Tak Bertanah = Rasisme” dan mengemukakan keadaan
rakyat tak bertanah yang sengsara (Ntsebeza 2007).
Di tahun 2005, Mangaliso menjelaskan bahwa LPM
terdiri dari “orang-orang paling sengsara dari yang miskin,
orang-orang yang tidak memiliki tanah sendiri” (Wawan-
cara). Sebagian besar di antara mereka, seperti Mangaliso,
dulunya merupakan para pekerja pertanian Kulit Hitam
yang diusir. Dalam artikel lain (n.d.) Mangaliso mengarti-
kulasikan hasrat para anggota LPM: “mereka bertanya
pada saya, apa yang saya inginkan. Saya ingin membajak
… Kami tidak punya tanah. Kami tidak bisa melihat adanya
pembangunan yang berkelanjutan di masa depan; rakyat
kelaparan. Kami tidak punya tanah maupun pekerjaan”
(Martorell 2007). KTT Dunia untuk Pembangunan
Berkelanjutan yang diselenggarakan di Johannesburg pada
tahun 2002 memberi kesempatan bagi ornop-ornop untuk
bersama-sama membawa rakyat tak bertanah dari seluruh
265