Page 276 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 276
GERAKAN AGRARIA TRANSNASIONAL
tan. Setelah pemilu demokratis pertama di tahun 1994,
pemerintahan Mandela mengajukan program land reform
yang terpusat pada tiga hal: restitusi (tanah dikembalikan
pada pengklaim yang dapat membuktikan bahwa
kepemilikan tanah mereka dilepas setelah diberlakukannya
Undang-Undang Tanah Penduduk Asli tahun 1913), redis-
tribusi (tanah yang dibeli pemerintah sesuai dengan nilai
pasar dan diredistribusi pada pengklaim tak bertanah), dan
keamanan menggarap (jaminan bahwa rakyat yang tinggal
di pertanian-pertanian Kulit Putih tidak akan diusir dengan
sewenang-wenang). Tujuannya adalah meredistribusikan
30 persen lahan pertanian dalam lima tahun pertama
dengan menerapkan sistem “penjual yang berniat, pembeli
yang berniat”; namun ternyata, land reform di Afrika
Selatan berjalan dengan sangat lamban, hanya 3 persen
yang berhasil didistribusikan pada tahun 2001 (Adams and
Howell 2001).
Selama masa pemerintahan Apartheid, perjuangan
atas tanah tergabung (dan ditempatkan di urutan kedua)
dalam perjuangan yang lebih luas melawan Apartheid.
Dengan demikian, “tuntutan atas tanah tidak diartikulasi-
kan di dalam dan dari perjuangan itu sendiri, namun lebih
digunakan sebagai simbol kurangnya demokrasi politik dan
rasisme dari rezim apartheid” (Greenberg 2004b, 15; Gre-
enstein 2003). Sementara mayoritas penduduk Afrika
Selatan tidak bertanah, sebagian besar di antaranya
diidentifikasikan secara politis di luar status tersebut karena
adanya resistensi yang dibangun di bawah Apartheid. Fakta
bahwa perjuangan atas tanah berada di barisan belakang
dalam perjuangan kebebasan yang lebih luas telah membuat
pengorganisasian perjuangan kaum tak bertanah di masa
pasca Apartheid menjadi sulit. Sampai tingkatan tertentu,
membangun gerakan tak bertanah akan membutuhkan
rekontekstualisasi tuntutan-tuntutan jangka panjang –
262