Page 149 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 149
menyerahkan pengelolaan tambaknya kepada orang lain yang disebut
perwakilan. Dalam prakteknya perwakilan inilah manager dari tambak itu,
ia kurang lebih mandiri dalam pengelolaan, tetapi tetap didikte oleh tuannya.
Pemilik tambak ini lebih cocok dinyatakan sebagai seorang absentee ownership
daripada sebagai seorang pemilik penggarap. Keadaan ini kelihatan lebih
janggal lagi karena kecamatan-kecamatan di Jawa adalah kecil sedangkan di
Aceh dan Sulawesi Selatan misalnya, kecamatan-kecamatan mempunyai areal
besar sehingga jarak antara dua tempat pada kecamatan-kecamatan yang
bertetangga dapat sangat jauh. Apakah masih adil untuk mempertahankan
definisi dari absentee ownership ini? bukanlah yang tersirat dalam penjelasan
dari pasal 3 Bab I PP No. 224 tahun 1961 mendasarkan pada efisiensi
penggunaan tanah? ditambah lagi dengan kenyataan bahwa orang tidak peduli
lagi akan ketentuan ini maka seorang di Ujung Pandang memiliki tambak di
Kabupaten Jeneponto yang dipisahkan oleh 2 daerah kabupaten.
Guntai di tambak-tambak di Kabupaten Sidoarjo mencapai 80-90%
dari seluruh luasan tambak. Ini adalah dugaan Dinas Perikanan. Kenyataan
sesungguhnya tak ada yang tahu, dan untuk mengetahui sangat sulit karena
tak ada orang yang mengaku.
Kabupaten Sidoarjo merupakan contoh yang paling jelek dalam hal
absentee, di daerah- daerah lainnya keadaan absenteeism tidaklah segawat ini.
Penguasaan tambak, terutama yang agak luas, misalnya lebih dari 2,5
ha kerap kali memerlukan penunggu atau perwakilan atau sawi (Sulawesi
Selatan). Tingkat kemandirian penunggu ini dapat paling rendah sebagai
buruh yang digaji bulanan sampai sebagai partner dalam berbagi hasil. Keadaan
ini mengaburkan pengelompokkan apakah usaha bersama ini mengandung
unsur penggunaan buruh upahan biasa, atau suatu perjanjian bagi hasil
ataukah merupakan gejala absenteeism. Kalau dianggap sebagai penggunaan
buruh upahan tak ada persoalan, tetapi kalau dianggap sebagai perjanjian bagi
hasil, kita mendapat persoalan baru, karena pembagian hasil tidak seperti yang
digariskan pada UU. No. 16 tahun 1964. Seperti umpamanya penggarap
harus mendapat minimum 40% dari hasil ikan peliharaan. Yang sekarang
terjadi adalah bahwa mungkin bagian dari penggarap kurang dari 40% karena
keadaan tambaknya. Makin subur tambaknya, bagian penggarap cenderung
114