Page 60 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 60

dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga sukar untuk dipergunakan
                sebagai alat pengawasan dan pengendalian mutasi pemilikan atau
                penguasaan tanah ataupun penggarapan tanah, seperti telah diatur dalam
                P.P. No.10/1961 jo. Peraturan Menteri Agraria No.14/1961 dan Instruksi
                Menteri Dalam Negeri No. 21 dan 27 tahun 1973.

                Belum terdaftamya semua bidang tanah menyebabkan pengawa san
                terhadap mutasi tanah, terjadinya hak atas tanah dan pembebanannya
                yang seharusnya dibuktikan dengan akte PPAT pasal 19 P.P. No.10/1961,
                menjadi tidak banyak artinya bagi pencegahan pemilikan atau penguasaan
                tanah oleh orang-orang kota atau golongan bermodal yang dilakukan
                secara melanggar hukum. Hal tersebut dengan sendirinya menyebabkan
                semakin sempitnya tanah yang dapat dimiliki petani penggarap. Keadaan
                tersebut diatas mendorong terjadinya hubungan kerja yang banyak
                merugikan petani penggarap atau petani kecil karena dilakukan dengan
                diam-diam (sembunyi-sembunyi): antara lain, perjanjian bagi hasil
                tanaman padi/palawija yang menyimpang dari UU No. 2/1960 atau
                bagi hasil perikanan yang menyimpang dari UU No,16/1964.
                Kesemuanya ini terjadi karena melimpahnya tenaga kerja buruh tani.
                Sementara ini hubungan kerja lainnya dalam sektor pertanian seperti
                perburuhan, sewa tanah untuk tanaman bukan tebu, sistem tebasan,
                belum diatur.

            2.  Penyediaan tanah untuk tanaman tebu
                Undang-Undang No. 38/1960 jo UU No. 20/1964, mengatur letak dan
                luas tanah yang harus disediakan untuk tanaman tebu sebagai daerah kerja
                (rayon) sesuatu pabrik gula, dengan pembayaran uang sewa yang besar
                dan syaratnya tiap musim tanam ditetapkan kembali oleh pemerintah.
                Satu sama lain itu dengan memperhatikan kepentingan pabrik gula,
                petani tebu dan rakyat sebagai konsumen. Bertemunya tiga kepentingan
                yang sama-sama menuntut perlakuan adil dan memang perlu mendapat
                perhatian Pemerintah dalam menetapkan letak tanah dan besamya uang
                sewa, disamping timbulnya keresahan dalam masyarakat pemilik tanah.
                Untuk menghindari kesulitan-kesulitan tersebut pemah diterapkan
                Undang-Undang Bagi Hasil untuk tanaman tebu pada tahun 1963,


                                            25
   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64   65