Page 61 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 61
tetapi tidak diteruskan. Sebabnya karena pabrik gula merasa dirugikan.
Semenjak tahun 1975 diterapkan sistem Bimas tebu atau TRI (Tebu
Rakyat Intensifikasi). Mengenai hasil pelaksanaan sistem TRI belum
diperoleh suatu kepastian akhir.
3. Masalah Tanah-Tanah Perkebunan dan Kehutanan
Dalam usaha menyelesaikan pendudukan atas tanah perkebunan atau
kehutanan yang terjadi sebelum tanggal 12 Juni 1954 telah dikeluarkan
UU No. 8 drt. 1954 jo UU No. 1/1956 dan No. 51/1960. Pada
prinsipnya Undang-Undang memberikan perlindungan kepada para
penggarap yang bersangkutan. Pengambilan kembali tanah tersebut
oleh pemegang hak dibawah pimpinan Gubemur KDH, atau pejabat
yang ditunjuk. Satu sama lain itu dengan memperhatikan kepentingan
penggarap akan sumber penghidupan, kebutuhan perusahaan akan tanah
dan keselamatan lingkungan atau masyarakat. Semenjak berlakunya UU
No. 51 Prp/1960, Menteri Agraria setelah mendengar Menteri Pertanian
diberi wewenang untuk mengosongkan tanah-tanah kehutanan dan
perkebunan yang diduduki oleh rakyat tanpa musyawarah dengan
penggarap dan dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip tersebut
di atas.
Dalam praktik sangat sukar untuk dapat mempertemukan ketiga
kepentingan tersebut, tanpa mengorbankan salah satu kepentingan,
kecuali kalau tersedia anggaran yang cukup besar untuk keperluan
resettlement ataupun transmigrasi.
B. MASALAH PERTANAHAN UNTUK TANAMAN PADI
1. Sewa dan Bagi-Hasil
Hak penggarap di atas tanah yang dimiliki orang lain di Pulau Jawa
ada dalam bentuk sewa dan ada yang dalam bentuk bagi-hasil. Di Jawa
Timur dan Jawa Tengah lebih banyak dalam bentuk sewa dari bentuk
bagi-hasil, di Jawa Barat lebih banyak dalam bentuk bagi-hasil daripada
bentuk sewa.
Dengan perbaikan, pengairan dan pemakaian teknologi kimiawi dan
biologi selama PELITA I dan II, produktivitas tanah sawah mengalami
26