Page 58 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 58
nampaknya masih banyak yang dikuasai dan diusahakan oleh pemilik sendiri.
Pemilikan tambak kebanyakan masih diatur menurut hukum adat baik di
Jawa, maupun di luar antara lain Sulawesi Selatan dan Aceh. Kekuatan hak
milik didasarkan atas surat kitir atau petuk, yang terdaftar dalam buku letter
D. seperti pekarangan. Jumlah pemilik yang sudah mempunyai sertifikat kecil,
sehingga kadang-kadang timbul kesulitan untuk mendapatkan kredit yang
agak besar.
Sebagai bidang usaha yang relatif baru berkembang, budidaya tambak
cukup menarik sehingga bidang-bidang tanah di pantai Jawa Utara juga
menarik minat. Di pantai-pantai dekat kota lalu timbul penguasaan dan/
atau pemilikan tambak berlebihan menurut ketentuan UUPA (untuk Jawa
6 ha maksimum). Sama halnya dengan tanah pertanian (sawah), maka
dalam pertambakan di Jawa terjadi akumulasi areal tambak yang di beberapa
Kabupaten di Jawa Timur telah mencapai 10 hektar, bahkan 30 hektar
pada seorang pemilik. Juga “guntai” atau pemilik absentee, terdapat dalam
pertambakan. Kabupaten Sidoarjo merupakan contoh yang paling jelek dalam
hal guntai tambak.
Pada umumnya dalam budidaya tambak, persewaan lebih banyak terjadi
daripada penggadaian. Kedua hal ini sudah melembaga di daerah pertambakan.
Tetapi persewaan lebih populer daripada gadai tetapi gadai biasanya mencakup
jangka waktu yang panjang, yaitu 5-10 tahun, atau bahkan dengan tekanan
pemberi kredit, tidak jarang lebih lama lagi.
C. TATA GUNA TANAH
Banyak masalah pertanahan yang diduga timbulnya karena belum adanya
Rencana Penggunaan Tanah dalam pengertian “Macro Land Use Planning”.
Setelah dikaji dengan konsepsi Departemen Dalam Negeri mengenai
“Prosedur Perencanaan Tata Guna Tanah” temyata bukan demikian letak
permasalahannya.
Rencana penggunaan tanah tidaklah berdiri sendiri dan merupakan
kegiatan tindak lanjut yang harus ada setelah adanya rencana lain yang
memerlukan tanah dan tidak diadakan zone pelbagai usaha.
Pasal 14 UUPA yang menyebutkan bahwa”Pemerintah membuat suatu
23