Page 146 - Mozaik Rupa Agraria
P. 146
dilakukan di Pondok Pesantren Waria Al Fatah. Itu pun ternyata
mendapatkan tekanan dan serangan-serangan dari kelompok-
kelompok mainstream yang berpikiran binner dan masih selalu
membenarkan hanya cara berpikirnya, hanya menurut mereka
yang paling benar adalah mereka sendiri. Padahal, kami pun
sebagai transpuan merasa bahwa Gusti Allah itu Maha Damai,
Maha Pengasih dan Penyayang kepada semua umat-Nya, juga
transpuan, tentu saja tidak ada yang sia-sia dengan penciptaan
transpuan, kami juga selalu berafiliasi kepada pengabdian dan
dedikasi untuk sesama manusia, untuk Gusti yang menciptakan,
serta alam semesta ini. Sangat sulit untuk mendapatkan ruang
publik yang bisa memberikan akses yang baik untuk beribadah,
seperti kami mencari tempat baru ketika harus pindah karena
satu dan lain hal, misalnya ketika alm. Ibu Shinta Ratri meninggal,
tentu secara otomatis kami tidak punya tempat lagi dan harus
mencari dan itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa
mendapatkan tempat itu. Jika mereka mengetahui bahwa itu
digunakan untuk ruang publik, untuk beribadah Transpuan, itu
masih sulit diterima di lingkungan itu karena mereka tetap punya
kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, akan dampak-dampak yang
kurang baik padahal itu jelas kalau ruang ibadah kan tujuannya
baik.
Lembaga yang mengawal isu keragaman gender tidak
banyak, di Indonesia yang saya ketahui hanya sekitar 50-an,
dan di Yogyakarta sendiri ada sekitar 6. Di setiap lembaga pun,
tidak banyak jumlah Human Right Defender, paling-paling hanya
terdiri dari pengurusnya yang tidak lebih dari 10 orang, kemudian
ada relawan dan anggota yang berbasis seperti itu (keragaman
gender), ada juga beberapa peneliti yang konsen dan menghargai
keberagaman gender.
GEDSI dan Agraria 133