Page 144 - Mozaik Rupa Agraria
P. 144
pemakaman, benar-benar masih sulit. Kita masih bersyukur ada
layanan publik di Dinas Sosial, yang kemudian bisa memfasilitasi.
Tetapi kemudian secara kelayakan, secara manusiawi itu juga
belum cukup karena pada dasarnya kalau pemakaman yang
dimiliki oleh Dinas Sosial itu tidak diperkenankan nama mereka
pada batu nisan, kebanyakan diberi label Mr. X. Ini adalah hal-hal
yang sangat memprihatinkan secara kemanusiaan, bahkan yang
tragis ketika ada (misalnya) salah satu individu yang mempunyai
maksud untuk menghibahkan tanah pemakaman biasanya ketika
rembugan serta merta itu akan ditolak oleh keluarga yang lain.
Ini adalah salah satu pengalaman yang pernah kami alami di
Yogyakarta.
Di Indonesia sendiri, secara prinsip pelayanan publiknya
boleh dikatakan 50:50, cukup ramah, bisa menerima. Dalam
konteks sebagai warga negara dengan pembedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan secara biner, seringkali misalnya dalam
pengurusan identitas kependudukan, akte kelahiran, ataupun
pengurusan paspor dan visa, tetap menggunakan nama lahir
sesuai yang tertuang di dalam KTP dan di dalam pelayanannya
pun rata-rata tidak ada permasalahan secara prinsip. Namun,
secara teknisnya tentu kembali kepada individu yang memberikan
pelayanan di layanan publik. Kemudian sedikit menjadi kendala
ketika masuk kepada persoalan pengadilan, misalnya untuk
proses mengganti nama sesuai dengan kenyamanannya, masih
sering terjadi judgement, sebelum masuk ke proses pengadilan
baik oleh orang terdekat maupun oleh petugas-petugas layanan.
Yang cukup ramah adalah layanan kesehatan, karena tentunya
ini juga dampak dari isu kesehatan reproduksi (kespro) maupun
HIV/AIDS yang cukup lama berkembang di Indonesia, terutama
secara nasional sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No
75 Tahun 2006 hingga pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS
melalui Perpres No 125 Tahun 2016, tapi dampaknya sudah cukup
GEDSI dan Agraria 131