Page 332 - Mozaik Rupa Agraria
P. 332
Otonomi Daerah dan Kebangkitan bekas Swapraja
Salah satu dampak dari Otonomi Daerah ialah kebangkitan
swapraja yang telah diakhiri melalui Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 , termasuk Kasultanan dan Pakualaman di DIY,
10
sebagaimana ditunjukkan oleh Gerry van Klinken (2010) . Pasal
11
18 B UUD 1945 bisa dimaknai dan dimanfaatkan oleh bekas
swapraja untuk menghidupkan hak dan wewenang swapraja
atas sumberdaya agraria dan mengukuhkan feodalisme dalam
12
pemerintahan , memakai argumentasi bahwa swapraja sama
13
dengan masyarakat (hukum) adat yang diatur hukum adat
14
(padahal keduanya berbeda dalam prinsip dan watak).
10 “… mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Kalimat ini merupakan penegasan kedaulatan
RI atas beragam bentuk kekuasaan yang pernah ada di wilayah republik, baik warisan
kolonialisme maupun feodalisme.
11 Klinken, Gerry van. Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik
Lokal’ dalam J.S. Davidson, D. Henley, S. Moniaga (ed). 2010. Adat dalam Politik Indonesia.
Jakarta: KITLV-Jakarta Yayasan Obor
12 Hak dan Wewenang Swapraja atas sumberdaya agraria telah dihapuskan melalui Diktum IV
UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA)
13 Sekitar 177 perwakilan raja dan sultan hadir dalam Silaturahmi Nasional (Silatnas) Raja
dan Sultan Nusantara IV digelar di Puri Agung Klungkung, Bali, Selasa 28 April 2015,
menyepakati lima poin sikap, yaitu: 1) Meminta pemerintah mengembalikan sejarah yang
ada di Bumi Nusantara, 2) Mengharapkan supaya Raja dan Sultan dilibatkan dalam proses
pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) PMA (Perlindungan Masyarakat Adat), 3)
Pemerintah melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap Raja dan Sultan. Artinya, ada
perbaikan ekonomi dan pemberdayaan terhadap Raja atau Sultan sebagai tokoh masyarakat,
4) Pemerintah melakukan pengendalian dan pengembalian posisi raja dan sultan sebagai
tokoh masyarakat di daerah-daerahnya, dan 5) Raja dan Sultan sebagai mitra pemerintah.
Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan Kerajaan Klantan Malaysia, Philipina, dan
Jerman. Lihat http://bali.tribunnews.com/2015/04/28/ini-5-sikap-yang-diajukan-silatnas-
raja-dan-sultan-iv-ke-pemerintah
14 Swapraja bukan masyarakat (hukum) adat, lihat Antoro (2014); Ranawidjaja (1955);
Topatimasang (2005); Shiraisi (1997); Burns (2010); Fitzpatrick (2010); dan Luthfi et.al (2009).
Perjanjian Giyanti 1755, Perjanjian Adipati Paku Alam I-Rafles 1813, dan Perjanjian Sultan
Hamengku Buwono IX-Belanda 1940 menunjukkan Kasultanan dan Pakualaman dibentuk
oleh dan berada di bawah kekuasaan kolonial, lihat Soekanto (1953).
Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 319