Page 422 - Mozaik Rupa Agraria
P. 422
dari jalur non Tanah Desa sirna, aset lapak-lapak dan program
memasukkan investasi oleh Patron Intelektual gagal. Bahwa ketiga
patron tersebut sesungguhnya pro investor adalah kenyataan yang
tak dapat ditutupi. Karena Eny Supiani tidak melalui jalur mereka,
ketiga patron itu menolaknya. Pertanda keberpihakan pada
pemodal yang paling tampak ialah ketiganya mendorong warga
untuk mendapatkan kekancingan dan berusaha memasukkan
kepentingan Patron Ekonomi Politik di tingkat kabupaten, seperti
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Ketua DPRD Kabupaten
Gunungkidul.
Apa peluang yang paling mungkin ditempuh ketiga patron itu
untuk mempertahankan kontrol atas Komunitas Celana Merah
secara politik, ekonomi, dan intelektual? Bekerjasama dengan
Eny Supiani atau investor lainnya dengan berbagi ruang produksi
(kolaborasi) atau menyatukan (integrasi) kepentingan melalui
wisata kemitraan, dengan memanfaatkan massa Kelompok Celana
Merah sebagai daya tawar sekaligus basis ekonomi pelengkap.
Apakah Komunitas Celana Merah sama sekali tak berdaya
menghadapi ancaman tersembunyi dari pola panutan-manutan
mereka? Mereka berdaya, namun membutuhkan prasyarat yaitu
kesadaran kelas melalui pendidikan, bukan penjinakan; apalagi
sekadar mobilisasi massa.
Masuk dan menggeliatnya modal baik di kota dan pinggiran
DIY telah melahirkan kelas-kelas sosial, dimulai dengan
menceraikan orang dari tanahnya, bentuk perceraiannya bisa
pengusiran, penggusuran, dan penghapusan hak atasnya. Klaim
atas Tanah Kesultanan dan Tanah Kadipaten yang dikukuhkan
dengan UU Keistimewaan DIY menjadi kekuatan untuk mengusir,
menggusur, dan menghapus hak atas tanah warga.
Keistimewaan DIY semakin menajamkan kelas-kelas sosial
ketika akumulasi primitif diperuntukkan bagi industri berskala
Gerakan dan Perjuangan Agraria 409