Page 102 - Kembali ke Agraria
P. 102
Kembali ke Agraria
Upaya mempertahankan adat
Berdasarkan wangsit leluhur yang selalu disampaikan dari
generasi ke generasi, Orang Naga mengenal sejumlah falsafah hidup.
Falsafah ini juga mempengaruhi mereka dalam mempertahankan
kelestarian hutan larangan. Misalnya, falsafah : Ulah bogoh ku ledokna,
ulah kabita ku datarna. Makaya na luhur batu, disaeuran ku taneuh moal
luput akaran. Legana saukuran tapak munding, sok mun eling moal lu-put
mahi. Artinya: Jangan tergoda oleh kesuburannya, jangan terpikat
oleh luasnya. Bercocok-tanam di atas batu, ditimbun tanah takkan
sampai tak berakar. Walau luasnya seukuran telapak kerbau, asal
ingat aturan adat pasti mencukupi (menurut adat Naga, falsafah hi-
dup seperti ini tidak boleh diucapkan pada hari-hari tabu, yakni:
Selasa, Rabu dan Sabtu).
Selain itu ada juga sanksi non-fisik yang disediakan bagi Orang
Naga yang melanggar tanah adat. Bentuknya, amanat, wasiat, dan
akibat. Sanksi ini terkandung dalam falsafah berikut Bandung
Parakan Muncang Mandala Cijulang, ana saseda satapa, baeu tunggal
seuweu putu. Kulit ka-sasaban ruyung, keureut piceun bisi nyeri. Maknanya:
Dari mana pun orang lain berasal, mereka adalah saudara. Kalau
ada yang melanggar adat maka buang atau singkirkan saja sebab
merugikan dan membuat sakit.
Secara turun-temurun, adat Kampung Naga dipertahankan oleh
incu-buyutnya. Caranya dengan mempertahankan jumlah, bentuk
dan bahan bangunan yang berasal dari alam sekitar. Rumah dan
bangunan lain yang ada di Kampung Naga seluruhnya mengguna-
kan bahan utama kayu, bambu, ijuk dan batu sungai yang semuanya
tersedia di sekitar pemukiman mereka. Orang Naga menolak ma-
suknya listrik ke perkampungan mereka. Alasannya patuh pada la-
rangan dari karuhun, atau karena takut perumahan mereka keba-
karan. Seperti diketahui rumah mereka terbuat dari bahan yang rentan
kebakaran seperti ijuk, kayu dan bambu.
Jika digali lebih dalam, sebenarnya mereka tidak anti ‘kemajuán. ’
Mereka juga tidak ketinggalan berita perkembangan zaman dan
83