Page 97 - Kembali ke Agraria
P. 97
Usep Setiawan
11/1974 tidak memenuhi kelayakan materiil suatu peraturan perun-
dang-undangan yang faktanya lebih banyak digiring oleh pilihan-
pilihan politis daripada desakan kebutuhan pengelolaan sumber
daya air yang berpihak pada rakyat.
Setelah memasuki era reformasi, tendensi perubahan hukum
keagrariaan mulai bergulir. Salah satu yang sedang didorong Peme-
rintah Megawati-Hamzah Haz adalah penyusunan RUU Sumber
Daya Air yang dipromosikan oleh Kementerian Pemukiman dan
Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Walau menurut pemerintah ini
merupakan upaya pemberdayaan rakyat untuk melakukan pengelo-
laan sumber daya air secara mandiri, ternyata RUU itu tidak seindah
cita-citanya.
Secara umum, RUU ini hanya dapat berlaku efektif jika diikuti
oleh sejumlah peraturan perundangan di bawahnya, berupa 33
Peraturan Pemerintah (PP), satu Keputusan Presiden (Keppres) dan
satu Keputusan Menteri (Kepmen). Cara ini kerap dilakukan oleh
pemerintah Orba yang bermuara pada lahirnya berbagai kebijakan
sentralistik yang dilakukan oleh eksekutif—terutama Presiden (mela-
lui Keppres). Ini didukung oleh ketidakberdayaan lembaga yudikatif
dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif. Terutama jika diketahui
di kemudian hari bahwa proses pembuatan RUU ini minus kontrol
publik.
Secara khusus, substansi yang diatur dalam RUU ini merupakan
replika dari UU No. 11/1974. RUU ini tetap mempertahankan karakter
pemerintahan yang sentralistik dan otoritarian dalam pengelolaan
sumber daya air. Karakter-karakter itu terbaca melalui istilah/idiom
yang muncul dalam beberapa pasal dan kontroversi pengaturan, yang
terjadi antar substansinya. Seperti layaknya pengaturan otonomi
daerah yang hingga saat ini masih menjadi tarik-ulur kepentingan
antar level dalam pemerintahan, RUU ini juga menampakkan kewe-
nangan pengelolaan sumber daya air yang samar-samar bagi peme-
rintah daerah terutama bagi masyarakat lokal/masyarakat adat.
Salah satu hal menarik yang bisa dibaca dari RUU Sumberdaya
78