Page 96 - Kembali ke Agraria
P. 96
Kembali ke Agraria
kelangkaan di atas planet yang berlimpah air. Kita dapat bekerja
dengan siklus air untuk mereklaim kelimpahan air sekaligus
menumbuhkan demokrasi. Jika kita dapat membangun demokrasi,
kita akan membangun perdamaian. (Disadur dari Vandana Shiva,
Water War: Privati-zation, Pollution and Profit 2002.)
Hukum sumber daya air: Dulu dan sekarang
Salah satu sumber daya alam terpenting setelah tanah adalah
air. Para pendiri Republik ini merangkaikan kalimat “Bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, sebagai
karunia Tuhan bagi Bangsa Indonesia. Setelah pemberlakuan UU
Pokok Agraria (UUPA) kemudian pemerintah mengeluarkan UU No.
11/1974 tentang Pengairan sebagai respon atas pasal 47 UUPA yang
memberikan pengaturan tentang hak guna air. Setelah 28 tahun ber-
lakunya UU Pengairan, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan
RUU mengenai Sumber Daya Air sebagai pengganti UU No. 11/1974
yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkem-
bangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat. UU
No. 11/1974 dikonstruksi untuk mendukung paradigma `pem-
bangunan positivistik’ orde Soeharto.
Berikut ini menunjukkan beberapa ciri menonjol paradigma
pembangunan masa Orba (lihat Shepherd, 1998): Pertumbuhan eko-
nomi adalah segala-galanya. Berapa pun harganya, segala dana dan
daya dikerahkan untuk itu. Tidak peduli, hasil pertumbuhan itu untuk
siapa. Salah satu harga yang harus dibayar adalah pemerintah yang
otoriter dan represif pun ditolerir demi stabilitas, karena stabilitas
adalah sarana utama bagi pertumbuhan ekonomi.
Peranan negara/pemerintah sangat besar: sebagai produsen,
sebagai penyedia berbagai sarana, dan sebagai pengatur dan penge-
lola. Tetapi di lain pihak ekonomi pasar dipromosikan. Perencanaan
merupakan pusat pemikiran, tetapi sifatnya top-down, karena
ber-tumpu kepada yang kuat. Pandangannya fragmentaris, sektoral,
tidak holistik, dan tidak partisipatif. Dapat dikatakan bahwa UU No.
77