Page 211 - Kembali ke Agraria
P. 211
Usep Setiawan
Perpres ini hanya mengatur ganti rugi atas nilai tanah. Tak disebutkan
ganti rugi tanam tumbuh di atasnya atau nilai bangunan. Tak ada
ketentuan pemberian ganti rugi menjamin kehidupan rakyat yang
kehilangan haknya jadi lebih baik.
Kedua, proses pengadaan tanah. Jangka waktu 90 hari untuk
musyawarah yang diatur perpres ini tak memungkinkan pemegang
hak atas tanah untuk menentukan pilihan-pilihan lain, kecuali
dipaksa menerima ganti rugi yang ditetapkan. Setelah waktu nego-
siasi terlewati, pemerintah (presiden) bisa mencabut hak atas tanah
itu.
Ketiga, panitia pengadaan tanah. Yang dimaksud panitia ini
hanya mewakili pemerintah. Panitia pengadaan tanah ini dipastikan
tak akan netral dan objektif dalam bernegosiasi dan membebaskan
lahan. Tak ada jaminan bahwa oknum dalam panitia pengadaan
tanah ini bermain mata dengan investor yang menyediakan modal
untuk pembebasan lahan.
Keempat, pencabutan hak atas tanah. Posisi rakyat makin dile-
mahkan dengan perpres ini. Perpres ini menjadi alat paksa peme-
rintah untuk mencabut hak atas tanah rakyat yang dianggap meng-
hambat pembangunan kepentingan umum. Sebaliknya, rakyat tak
memperoleh perlindungan hukum untuk mempertahankan tanah
miliknya lewat jalur hukum yang adil.
Soal paradigma
Pada Infrastructure Summit 2005, pemerintah berjanji untuk menge-
luarkan 14 peraturan dan ketentuan pendukung investasi. Janji ini
ditebar guna meyakinkan mitra bisnis dari luar negeri yang akan
berinvestasi di Indonesia. Perpres 36/2005 menjadi pembuka jalan
bagi projek-projek pembangunan bermodal besar.
Menko Perekonomian mengungkapkan, kebutuhan dana untuk
pembangunan infrastruktur mencapai Rp 1.305 triliun. Sejumlah Rp
810 triliun akan dicari dari pengusaha swasta domestik dan luar
negeri. Untuk tahap pertama pemerintah menawarkan 91 projek seni-
192