Page 296 - Kembali ke Agraria
P. 296
Suara Pembaruan, 8 Mei 2007
Kabinet Pro-Ekonomi Kerakyatan
EKAN ini perhatian publik tercurah pada perombakan (reshuffle)
PKabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Apakah figur-figur baru yang masuk kabinet
akan membuahkan angin segar bagi perbaikan berbagai sendi kehi-
dupan berbangsa dan bernegara yang berujung pada peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat? Atau justru sebaliknya?
Sementara itu, belum lama berselang, Yayasan Indonesia Forum
meramalkan bangsa ini baru dapat mencapai kemakmuran pada 2030.
Dalam 23 tahun ke depan, melalui cara yang ditawarkan sebuah yayasan
yang disponsori sejumlah pengusaha berkantong tebal itu, pendapatan
per kapita Indonesia mencapai 18.000 dolar AS, dan terdapat 30
perusahaan nasional yang masuk dalam 500 perusahaan elite dunia.
Sebenarnya, kalau kita tengok sejarah, ukuran simplistik ekonomis
semacam itu pernah kita capai pada masa penjajahan. Di era kolonial,
pembangunan di Batavia, Semarang, Medan, dan Makassar, berhasil
memosisikan Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila terasa kampungan.
Bahkan, raja gula Oei Thiong Ham asal Semarang adalah konglomerat
top kelas dunia saat itu. Tapi masyarakat luas tak merasakan faedahnya.
Di sisi yang lain, angka statistik pertumbuhan ekonomi sesungguhnya
tidak mencerminkan distribusi angka-angka tersebut (D. Joesoef: 2006).
Bagi kita, soalnya bukan pada mungkin tidaknya mencapai Visi 2030
itu, tapi paradigma pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi itulah
yang pantas digugat karena keliru alamat bagi bangsa merdeka ini.
277