Page 70 - Kembali ke Agraria
P. 70
Kembali ke Agraria
Gagasan yang dilontarkan sejumlah kalangan pemikir pertanian
berperspektif agrobisnis sering tidak menyertakan pengungkapan
fakta mengenai kondisi objektif mengenai usaha kontemporer yang
berkembang di lapis masyarakat bawah (grassroot level). Dalam tulisan
ringkas ini, penulis menawarkan beberapa catatan yang seyogyanya
tidak dikesampingkan begitu saja dari wacana pengembangan perta-
nian di negeri agraris ini. Jika kita cermati potret sosial kaum tani
Indonesia dengan segera kita menyaksikan hal-hal yang mempriha-
tinkan.
Pertama, sudah diketahui umum bahwa kaum tani di negeri
agraris ini berada dalam lapisan sosial yang tidak menguntungkan.
Penghisapan surplus yang diraih petani oleh kelompok sosial lain
yang ada di atas-nya menjadi kenyataan sosial yang sulit dibantah.
Rendahnya harga produk-produk pertanian yang tidak diimbangi
oleh murahnya sarana-sarana produksi telah menyebabkan ongkos
produksi yang dikeluarkan kaum tani menjadi tidak seimbang. Con-
toh aktual, anjloknya harga gabah (padi) petani telah menyudutkan
petani hingga ke titik yang membuat mereka frustrasi. Tidak heran
jika semua petani kita kini mengancam mogok tanam padi jika
kebijakan politik beras tidak diperbaiki.
Kedua, potret lain yang mendera petani adalah ketimpangan
penguasaan tanah yang semakin menajam. Penelusuran data statistik
(BPS 1993) menunjukan bahwa semakin banyak petani kehilangan
tanahnya (43%). Di lain sisi, semakin luas tanah pertanian (69%)
yang dikuasai oleh sedikit orang saja (16%). Kenyataan ini tentu saja
sangat relevan untuk ditinjau saat kita bicara pengembangan model
usaha tani yang tepat untuk Indonesia. Lebih jauhnya, faktor ketim-
pangan ini bisa menentukan; siapa yang akan diuntungkan oleh
usaha tani (agrobisnis) yang dijalankan di atas struktur penguasaan
tanah yang timpang?
Ketiga, maraknya drama penggusuran tanah petani untuk
berbagai keperluan di luar pertanian; Pertanian tanah petani untuk
beragam keperluan yang mengatasnamakan ‘pembangunan
51