Page 75 - Kembali ke Agraria
P. 75

Usep Setiawan

            dan pesimistik.
                Secara tegas, golongan yang optimis merupakan pendukung uta-
            ma otonomi daerah baik dari sisi ide dasar maupun strategi imple-
            mentasinya. Bagi golongan ini, otonomi daerah adalah jawaban atas
            kritik terhadap model hubungan pusat-daerah yang selama ini sangat
            sentralistik. Bahkan dengan otonomi, kemajuan dan kesejahteraan
            rakyat di daerah akan seperti mimpi yang menjadi kenyataan (dream
            comes true).
                Hal ini berlaku sebaliknya bagi yang pesimis. Bagi golongan ini,
            otonomi daerah dinilai hanya akan mengalihkan ‘raja-raja’ (pengu-
            asa) dari pusat (Jakarta) ke daerah. Belum lagi, kekuatan politik di
            daerah sekarang masih berkemampuan rendah (under skill) yang bisa
            memicu kemungkinan salah arah (disorientasi) pengembangan daerah.
            Golongan pesimis melihat bahaya otonomi daerah justru lebih besar
            ketimbang peluang positilnya. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan
            rekomendator kelahiran UU ini adalah kalangan rezim kapilalis glo-
            bal, seperti IMF dan Bank Dunia. Golongan pesimistik memperkirakan
            proses penetrasi kapital ke desa-desa di daerah akan kian mulus dan
            massif. Jika ini yang terjadi, maka dampaknya mudah ditebak:
            penyingkiran rakyat dari akses sosio-ekonomi dan eksploitasi terhadap
            sumber-sumber penghidupan masyarakat akan makin menguat.
                Di luar dua golongan di atas, tidak dipungkiri ada (banyak) pula
            yang apatis merupakan golongan tidak peduli dan ogah ambil pusing
            terhadap isu otonomi daerah. Besar kemungkinan alasan golongan
            ini muncul akibat kekurangan informasi sehingga tidak cukup untuk
            mengambil sikap tertentu. Hemat penulis, perdebatan tentang oto-
            nomi daerah seyogianya mendapat tempat yang cukup di hadapan
            wacana publik. Tentu saja, dialog mengenai perbedaan pendapat ini
            mesti dilakukan secara terbuka, rasional, dan sepanjang bertujuan
            untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Masalahnya sekarang,
            bagaimana kita mengolah perbedaan pendapat itu sehingga jadi rah-
            mat, bukannya laknat.
                                         ***


            56
   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79   80