Page 144 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 144
Krisis Keberlanjutan Sumber Penghidupan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis di Pulau Kecil
Oleh karena itu Belanda menyusun siasat yang berimplikasi pada
perjanjian konsesi tambang, salah satu caranya dengan manaruh
serdadu di lahan pertambangan.
Di masa orde lama tahun 1960-an, diberlakukan nasionalisasi
bagi aset asing yang akan diperuntukan bagi kesejahteraan
masyarakat. Sehingga operasional tambang terhenti, banyak
tambang yang dibiarkan begitu saja. Kegiatan eksploitasi
sumberdaya alam kembali marak sejak ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS Tahun 1966. Produk UU No.1 tahun 1967 tentang
penanaman modal asing membuka jalan bagi para investor dalam
mengelola sumberdaya Indonesia. Produk kebijakan ini didukung
oleh UU No.5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan. Selain itu
pada tahun 1970 keluar PP. 21 tentang hak pengusahaan hutan
dan pemungutan hasil hutan. Tidak hanya yang ada diatas bumi
(hutan) yang akan di eksploitasi namun juga yang ada di perut
bumi juga akan di keruk.
Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya kebijakan
Kepres No. 49/1981 mengenai kontrak pengusahaan batubara
generasi I atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Di Kalimantan
Selatan ada 3 perusahaan yaitu PT. Arutmin, Adaro dan PT. Chong
Hua OMD (yang kemudian dicabut ijinnya). Ketiga kontraktor
ini diberi cadangan areal sekitar 230.000 ha. Lokasi tambang
Arutmin berada di Kabupaten Kotabaru, sementara Adaro di
Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong, sedangkan Chung
Hua OMD di Kabupaten Banjar.
Arutmin dan Adaro berpatungan dengan Broken Hill Property
(BHP), perusahaan tambang batu bara dari Australia. Pada tahun
1993, jumlah perusahaan pertambangan dengan menggunakan
PKP2B bertambah dengan dikeluarkannya Kontrak Pengusahaan
— 125 —