Page 177 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 177

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

                Jika mau diperiksa ulang tingkat kesungguhan dari aktor
            negara untuk melaksanakan RA, dalam banyak hal masih banyak
            terganjal pertimbangan-pertimbangan politik pragmatis yang
            cenderung dikuasai oleh ‘kartel politik’ pengusaha yang dominan
            di panggung elit politik nasional sekarang ini, dan di sisi lain,
            akibat ideologi politik-ekonomi pemerintah yang cenderung
            mengarah pada model ekonomi neoliberal (Swasono, 2009).
            Sehingga makin mempersempit ruang bagi usaha perombakan
            struktural ketimpangan agraria yang berpihak pada petani gurem
            dan masyarakat miskin di pedesaan.
                Dari kasus di Tasikmalaya dan Blitar menunjukkan bahwa
            semangat RA dalam makna perombakan struktural atas beragam
            incompabilities (penguasaan, kepemilikan dan akses) atas sumber-
            sumber agraria beserta pembaharuan sosio-ekonomi dan politik
            yang melengkapinya, tak mampu ditegakkan. Yang terjadi justru
            reduksi makna dasar RA jatuh sekedar menjadi ‘proyek’ pendaftaran,
            pendataan dan sertifikasi lahan. Maka idealisasi PPAN yang
            memiliki agenda redistribusi lebih dari 1,7 juta hektar tanah untuk
            para petani penggarap, disebut kalangan aktivis agraria sebagai
            “layu sebelum berkembang”.
                Pada sisi lain, semangat RA genuine yang bertujuan mengurangi
            angka kemiskinan sebagai konsekuensi logis dari perombakan
            ketidakadilan struktur agraria masyarakat di pedesaan (Sobhan,
            1993; Borras, 2007), belum mampu diwujudkan oleh Kantah
            Tasikmalaya dan Blitar. Justru agenda kebijakan pertanahan
            berjalan sendiri-sendiri atau tidak terhubung (diskoneksi) dengan
            program kemiskinan dari Pemerintah Daerah dan inisiatif rakyat
            untuk RA. Hal ini latari beberapa sebab; Pertama, Problem
            pada level mekanisme dan sirkuit Policy Proses, dari pusat hingga
            daerah yang berbeda. Kedua, problem pada level pelaksanaan di

                                    — 158 —
   172   173   174   175   176   177   178   179   180   181   182