Page 182 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 182

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

             lebih berwatak ‘proyek’ dan karikatif, dengan mengandalkan model
             pemberian bantuan yang di balut dengan partisipasi semu, seperti:
             BLT, gardu Taskin, Raskin, PNPM Mandiri dst. Perspektif tentang
                       13
             kemiskinan  belum bergeser dari domain definisi kemiskinan dalam
             satu dimensi saja yakni dimensi ekonomi, maka penyelesaiannya
             selalu berkiblat pada model pembangunan pedesaan yang sering
             diartikan dengan ”berbagai hal yang berkaitan dengan benda
             material”, seperti: sekolah, klinik, jalan, listrik, kelompok pemuda/
             perempuan, pembersihan sarana umum, industri kecil, pemberian
             kredit, pupuk, bibit/benih baik langsung maupun melalui koperasi
             dll. Sekalipun penting bahan material tersebut, sebagaimana juga
             pendapatan, namun kesemuanya hanyalah alat atau instrumen
             untuk memenuhi sasaran utama dalam kehidupan (Al-Ghonemy,
             2008). Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana benda-
             benda itu digunakan dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang
             sumber strategi penghidupannya masih berpusat pada tanah atau
             pertanian? Benarkah akar persoalan kemiskinan di pedesaan dapat
             diselesaikan dengan cara-cara ‘pembangunan materil’ seperti di



             13. Secara umum terdapat dua perspektif dalam memahami kemiskinan yaitu,
                kerangka kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural, meskipun pada
                praktiknya keduanya sulit dipisahkan secara rigid. Kemiskinan kultural,
                umumnya dikaitkan dengan proses dan kerangka mental, perilaku, norma,
                dan aspek budaya lainnya yang menghambat bagi upaya-upaya mayasrakat
                baik perorangan maupun kolektif untuk memajukan dan meningkatkan
                kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka sendiri dalam
                kehidupan kekinian. Sedangkan kemiskinan Struktural, sebagaimana
                dijelaskan oleh Selo Sumardjan (1980) adalah kemiskinan yang di derita
                oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak
                dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia
                bagi mereka. Mukhtar Sarman (ed). 1998. “Dimensi Kemiskinan; Agenda
                Pemikiran Sajogyo”, (Pusat P3R-YAE, Bogor 2007).

                                     — 163 —
   177   178   179   180   181   182   183   184   185   186   187