Page 184 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 184

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

             masyarakat menyatakan bahwa “ada dan tidak ada” program
             kemiskinan tidak banyak berpengaruh bagi perbaikan kondisi
             mereka. Secara ‘apatis’ masyarakat mengungkapkan, bahwa; “jika
             dapat ya Alhamdulilah, jika tidak, ya sudah...ndak usah terlalu
             diharapakan, nanti malah sakit hati sendiri...Yach, paling perangkat
             desa dan pemuka masayarakat yang banyak diuntungkan..”.
                 Nampaknya, kebijakan-kebijakan tersebut selaras dengan
             pandangan W.F. Whertheim (2009), bahwa model kebijakan-
             kebijakan bangsa ini secara nasional masih mengidap karakter
                               15
             ‘sosiologi of ignorance’  yang dengan sengaja mengabaikan “suara-
             suara dari lapisan bawah”. Semua rumusan kebijakan disusun
             dan ditetapkan di ruang atau di atas meja yang steril dari hakekat
             kebutuhan masyarakat marjinal yang sebenarnya. Sulit berharap
             banyak bahwa model kebijakan dengan watak developmentalism
             dan politik ignorance semacam ini dapat tersambungkan dengan
             inisiatif yang datang dari ‘suara rakyat’ di satu sisi dan model
             konseptual RA yang berwatak pro poor di sisi lainnya. Dengan
             demikian wajar jika agenda BAPEDA dalam RPJMD di kedua
             kabupaten (Tasikmalaya dan Blitar) belum memasukkan sama
             sekali agenda-agenda penataan kembali struktur agraria, redistribusi


                beserta batas dan kesempatannya untuk integrasi. Sementara penggalian data
                tentang kebijakan pertanahan dan pengembangan wilayah dan penaggulangan
                kemsikinan di gali melalui wawancara dan studi dokumen kebijakan di
                Kantah (Tasikmalaya dan Blitar), BAPEDA, Dinas Perkebunan, Dinas
                Kehutanan, Dinas Kopereasi, Dinas Sosial, BPS, Kecamatan dan Desa.
             15. Ilmuwan lain di Indonesia menyebut dengan istilah beragam; ‘history without
                people’ atau ‘people without history’ untuk menunjuk bagiamana kebijakan
                nasional yang terjadi dalam kurun waktu 30 tahun lebih hanya ditentukan
                oleh segelintir “elite atas” di Jakarta saja dan tidak memberi ruang yang
                cukup bagi suara dari lapisan bawah. Lebih jauh lihat, W.F Wertheim, Elite
                dan Massa, LIBRA (Resist Book, Yogyakarta, 2009).

                                     — 165 —
   179   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189