Page 186 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 186
Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan
bekas perkebunan itu tetap dikelola oleh eks buruh disekitarnya
lewat kelembagaan formal agar bisa memasukkan aktivitas itu
kedalam daftar agenda program nasionalisasi asset yang dicanangkan
oleh presiden Soekarno. Konteks inilah yang menjadi cikal bakal
dibentuknya koperasi Wangunwatie. Pada saat UUPA 1960 mulai
diujicobakan di Indonesia, 5 tahun setelah itu, tepatnya tahun 1965,
pemerintah mengeluarkan SK redistribusi terhadap tanah 400 Ha
yang sebelumnya telah dibagi sendiri oleh buruh perkebunan ini,
sementara 280 Ha lainnya tetap dikelola oleh koperasi dengan SK
Menteri Pertanian tahun 1965. Namun, sayangnya SK Redist dan
SK Menteri Pertanian itu tidak diurus menjadi sertifikat, karena
gejolak politik di Indonesia tahun 1965.
Setelah lepas dari polemik politik besar tahun 1965, koperasi
Wangunwatie tetap menjalankan perkebunan di lahan seluas
280Ha yang telah dikuasai sebelumnya. Untuk tetap bertahan dari
upaya stigmatisasi gaya Orde Baru, para pengurus dan penggerak
koperasi Wangunwatie melakukan beragam strategi, sehingga sampai
16
sekarang mampu terhindar dari stigma “pengkhianatan” . Diantara
strategi tersebut adalah dengan cara terlibat dalam pertemuan
aliansi-aliansi nasional yang dibentuk pemerintah sebagai upaya
17
kontrol rezim Soeharto terhadap gerakan sosial pedesaan, HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) adalah organisasi yang
16. Kebanyakan kaum tani di desa ini adalah anggota aktif GTI (Gerakan
Tani Indonesia), sebuah organisasi tani yang berafiliasi dengan Partai
Sosialis Indonesia (PSI), dan dekat dengan kalangan nasionalis, azaz yang
mereka jalankan menganut prinsip-prinsip keadilan sosial, dan pemerataan
kesejahteraan. (Hasil wawancara dengan tokoh petani Wangunwatie, 5 Juni
2010)
17. Organ ini sama halnya dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia),
dan beberapa lembaga bentukan rezim orde baru untuk mengkanalisasi
ketakutan mereka terhadap tradisi kritis gerakan social di Indonesia.
— 167 —