Page 99 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 99
Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis
mempunyai hak untuk mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut
demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian penguasaan
tanah dalam makna demikian, berada di bawah Ondoafi yakni
zonasi-zonasi yang diperuntukkan bagi kepentingan yang lebih
umum. Sebagian lainnya di bawah para Khoselo yang merupakan
tanah warisan klan secara turun-temurun. Di masa lalu sering
terjadi peperangan antar klan dan suku untuk memperebutkan
tanah. Tradisi keras demikian menjadi salah sebuah akar kerumitan
konflik tanah di Papua hari ini.
Naghemia, sebuah isitilah dalam bahasa Sentani yang berarti
“induk mama” (naghe-induk, dan mia -mama/induk) untuk
menandakan tanah, bukanlah sebuah istilah biasa dan harfiah
semata. Akan tetapi lebih sebagai personifikasi filosofis yang
mengandaikan kedalaman hubungan antara manusia dan tanah.
Tanah adalah ibu dari mama, atau tanah adalah induk. Induk
adalah ibu yang pertama dan tidak mempunyai ibu lagi, sedang
mama dilahirkan oleh induk. Tanah kemudian menjadi “ibu”
yang paling awal, yang tanpanya tidak mungkin lahir kehidupan
selanjutnya. Kedalaman pengertian akan tanah sebagai “ibu”
pertama ini membentuk sensitifitas tertentu atas tanah.
Induk (naghe) adalah representasi dari sesuatu inti yang berdiri
sendiri dan menjadi sumber energi bagi segala sesuatu yang lain.
Dengan keberadaannya, kehidupan selanjutnya yang terus meluas
menghidupi diri dari serapan energi pada sang induk. Dalam
konteks ini masyarakat Sentani menganggap keberadaannya
bergantung dari suplai energi demikian (hingga ke pengertian yang
magis). Sementara mama (mia) adalah personifikasi dari sesuatu
yang telah memberikan cinta dan kasih sayang bagaikan seorang
mama pada anak-anaknya. Cinta mama ada sejak dari proses
kehamilan dan menyusui hingga terpenuhinya segala kebutuhan
— 80 —