Page 60 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 60
M. Nazir Salim & Westi Utami
Namun demikian pada periode yang sama, pelaksanaan Landreform
bukanlah suatu yang mudah, terdapat banyak perlawanan dan hambatan
di lapangan. Berbagai pihak melakukan perlawanan utamanya tuan
tanah dan pihak-pihak yang tidak menginginkan Sukarno menjalankan
Landreform (Aidit 1964). Atas situasi itu, partai kiri (Partai Komunis In-
donesia/PKI) memberikan banyak catatan atas jalannya Landreform
Sukarno, sekalipun banyak referensi menyebut bahwa komunis berke-
pentingan dan menumpangi agenda Landreform Sukarno, bukan berarti
PKI tanpa kritik terhadap pelaksanaan Landreform. Aidit dan kawan-
kawan mengeluarkan statemen keras berdasar riset dan kajiannya di Jawa
Barat atas agenda dan pelaksanaan Landreform Sukarno, karena dianggap
lambat dalam pelaksanaannya. Kritik Aidit kemudian terkenal dengan
istilah “kaum tani mengganyang 7 setan desa”. Kelompok ini adalah: Tuan
tanah jahat, Lintah darat, Tukang Ijon, Kapitalis birokrat, Tengkulak jahat,
Bandit desa, dan Penguasa jahat oleh Aidit dilabeli sebagai pihak-pihak
yang menghambat agenda pelaksanaan Landreform (Aidit 1964, 26-27).
Kelompok NU juga melakukan kritik terhadap 7 setan desa tersebut, NU
menyebut dengan istilah kaum feodal dan kaum penipu tani yang dise-
butnya sebagai “setan tanah” (Achdian 2008, 88).
Kritik Aidit dianggap menjadi senjata pembenaran, karena pasca
itu, aksi sepihak pengambilan tanah di pedesaan Jawa cukup masif dan
menyebabkan beberapa pihak terganggu. PKI dan kader serta simpatisan
yang dimotori Barisan Tani Indonesia (BTI) di desa telah menggerakkan
petani untuk melakukan penyerobotan dengan slogan populer masa itu
“tanah untuk petani penggarap” dan “ganyang tujuh setan desa”. Slogan
itu kemudian meyakinkan petani bahwa tuan tanah yang menghisap
rakyat harus diambil tanahnya untuk para petani tak bertanah (Padmo
2000, 114-116). Lahan milik tuan tanah, tengkulak, dan pihak-pihak yang
ditengarai memiliki lahan cukup luas di desa telah dilabeli sebagai kelom-
pok “7 setan desa” yang menghambat jalannya Landreform. Keberada-
annya harus dilawan dan tanah-tanah meraka harus diambil dan dibagi-
kan kepada petani untuk digarap. Gerakan ini kemudian terkenal dengan
aksi sepihak (Achdian 2008, 87). Peristiwa ini kemudian menjadi penanda
bahwa lambannya pelaksanaan redistribusi tanah oleh Panitia Landre-
32