Page 64 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 64
M. Nazir Salim & Westi Utami
kebutuhan dasar petani, minimal tanah yang dibutuhkan untuk mem-
bangun kehidupan terpenuhi.
Orde Baru di bawah Suharto hendak mengakhiri kebijakan Land-
reform, khususunya di Jawa, karena trauma peristiwa sebelum 1965 yang
menghantui komponen militer dan Orde Baru (Roosa 2008) dan kebijakan
landreform dianggap memberikan banyak petaka bagi petani di pede-
saan. Pilihan jatuh ke transmigrasi yang tampak menarik, namun praktik
di dalamnya, penuh dengan kekerasan dan konflik (Stanley 1994, Bachria-
di dan Lucas, 2001). Akan tetapi Suharto mampu mengontrol kebijakan-
nya dengan menggerakkan seluruh kekuatan negara untuk mengawal
program pembangunannya, termasuk transmigrasi. Secara kultural,
Suharto memahami persis masyarakat pedesaan Jawa akan bersikap nrimo
atas kebijakan yang dipraktikkan, dan realitas itu dibutuhkan untuk
mendukung kebijakan tersebut. Faktanya, transmigrasi di Sumatera dan
daerah lain banyak yang sukses, mampu bertahan dan berkembang maju,
walaupun tidak sedikit yang mengalami kegagalan (McCarthy 2010).
Sejak Suharto berkuasa, perubahan orientasi kebijakan agraria sudah
dipikirkan dengan memprioritaskan tanah untuk mendukung kebijakan
pembangunan, yakni pembangunan pertanian, industri, dan pem-
bangunan prasarana umum (Salim, Dewi & Mahardika 2015, 51). Tekad
itu kemudian direalisasikan dalam bentuk yang lebih nyata, selain mem-
bangun industri, Suharto juga membangun pertanian yang berfokus pada
revolusi hijau. Program ini menjadi prioritas selain melakukan transmig-
rasi besar-besar bagi penduduk Pulau Jawa. Namun, dibalik perubahan
orientasi kebijakan itu, Suharto telah banyak melakukan penggusuran
dan pengusiran warga di Jawa atas nama pembangunan (Bachriadi & Lucas
2001, Salim 2014).
Sebelum tahun 1988, Suharto menciptakan kelembagaan agraria
untuk mengurus persoalan birokrsi dan administrasi pertanahan, namun
kemudian bergeser menjadi lembaga yang berusaha menyediakan tanah
untuk kepentingan pembangunan, termasuk merubah kelembagaan yang
sebelumnya setingkat dirjen kemudian menjadi setingkat menteri pada
tahun 1988, menjadi Kepala Badan Pertanahan Nasional. Perubahan ini
semata untuk meningkatkan pelayanan pertanahan yang semakin
36