Page 61 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 61
Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi
form menjadi pembenaran aksi sepihak yang dilakukan banyak petani
2
di pedesaan Jawa yang di banyak daerah menimbulkan chaos. Titik
baliknya, ketika terjadi peristiwa huru hara 1965, aksi sepihak diungkit
dan dianggap sebagai “kayu bakar” untuk melakukan pembalasan kepada
pihak-pihak “di luar” yang disponsori oleh “negara” (Roosa 2008). Pasca
peristiwa 1965, agenda mulia Landreform kemudian terhenti, tanah-tanh
yang telah terdistribusikan di Jawa kemudian sebagian diambil kembali
dengan alasan biaya ganti ruginya tidak sesuai aturan hukum (Huizer
1972, 53-54).
Reforma Agraria periode Sukarno sebelum dipaksa henti pada tahun
1965 telah berhasil menunjukkan kinerjanya yang konkrit. Secara kelem-
bagaan, apa yang dilakukan Sukarno relatif eksis dan berhasil mem-
bangun dasar-dasar penataan penguasaan tanah di Indonesia, khususnya
tanah pertanian. Sukarno secara ide/gagasan berhasil mewujudkan da-
lam bentuk kelembagaan yang konkrit dan sudah mencoba menerapkan
dalam kebijakan. Intinya, apa yang menjadi pesan dan cita-cita Revolusi
sebagaimana ingatan Sukarno dalam “Indonesia Menggugat” pada tahun
1932 ketika Sukarno diadili oleh Pengadilan Kolonial. Ingatan itu kemu-
dian dijawab oleh Sukarno dengan membentuk hukum agraria yang pro
kepada pribumi, yakni UUPA sekaligus melaksanakannya (Landreform).
Dalam pidatonya di depan Pengadilan Kolonial di Bandung, ia mene-
gaskan, keberadaan Agrarische Wet telah memakan korban banyak warga
pribumi. Berlakunya Agrarische Wet telah menghisap tenaga dan harta
pribumi, dan harta-harta pribumi dibawa keluar dari Indonesia (Sukarno
2001). Kini, 1960-1965 Sukarno telah berhasil mewujudkan cita-cita
revolusi, namun ia harus mengalah dengan situasi dimana peristiwa 1965
telah menghancurkan seluruh cita-citanya untuk mewujudkan keadilan
agraria di Indonesia secara adil dan menciptakan kemakmuran bagi
warganya.
2 Aksi sepihak terkait Landreform pertama kali dilakukan di Klaten pada
bulan Februari 1964, dilakukan oleh kader-kader PKI dan BTI setelah mengadakan
rapat umum di alun-alun yang penuh dengan spanduk provokatif, “Tanah Untuk
Tani Penggarap” dan “Gantung Tujuh Setan Desa”.
33