Page 147 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 147
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
sekitar 0.45 juta hektar (Hardjosudarmo, 1970). Akan
tetapi sistem kerja besar ini dianggap lamban oleh peme-
rintah pusat yang diawasi langsung oleh Dewan Pertim-
bangan Agung (DPA). Dengan pengawasan ini pula,
proyek landreform terus dikerjakan dan secara periodik
panitia melaporkan kepada DPA dalam sidang-sidangnya
tentang progres, hambatan, dan persoalan-persoalan di
lapangan. Berikut ini bagian dari rekaman sidang-sidang
yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung untuk
mengawasi jalannya kerja-kerja panitia landreform:
Angka yang disampaikan Menteri Agraria mengenai kelebihan
tanah, tanah absente, tanah swapraja, tanah negara, empat
macam tanah direstribusi, yang seharusnya menurut tafsiran
pusat berjumlah 445.700 ha, baru dinyatakan 298.566 ha. Sisanya
belum diusut dengan baik.
Di daerah masih banyak kecurangan, salah daftar, sistem kedok,
waris palsu, hibah palsu, perampasan tanah hak milik tani. Biaya
pengusiran yang sewenang-wenang oleh pejabat Perhutani,
Kehutanan, dan PPN. Hanya disebutkan di Brebes ada 505
sengketa saja. Juga mengenai Undang-undang Bagi Hasil
(UUPBH) yang belum dikerjakan bupati sepenuhnya. Masih
banyak pencabutan tanah garapan kaum tani menurut undang-
undang ini.
Peraturan bebas gadai tanah 7 tahun yang mestinya berlaku
awal tahun 1961 berdasarkan Undang-undang No.56 Prp.60
dinyatakan belum begitu terasa. Panitia Landreform belum mem-
perhatikan dan menjalankannya. Landreform di Jawa, Bali, NTB
yang sudah ditentukan Sukarno sampai tahun 1964 belum kelar.
Baik dalam Djarek atau Ketetapan MPRS Landreform adalah
bagian mutlak Revolusi Indonesia. Seharusnya sisa-sisa feodal
dikikis habis dan dilaksanakan Tanah untuk Kaum Tani.
111