Page 151 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 151

Politik Kelembagaan Agraria Indonesia

                          tanah  oleh  panitia  landreform.  Semangat  yang  sama
                          antara organisasi tani dan panitia landreform sebenarnya
                          terjalin, akan tetapi situasi lebih jauh tidak bisa diken-
                          dalikan  karena perlawanan dan provokasi terus terjadi
                          sehingga menjadi sebab situasi terus memanas sampai
                          akhirnya terjadi peristiwa 1965 (Penyuluh Landreform, No.
                          4-5-6 Okt/Nov/Des 1966).
                              Di desa-desa, khususnya Jawa, kelompok yang disebut
                          oleh Aidit sebagai setan desa inilah yang menjadi sasaran
                          “amuk” petani garis kiri yang diorganisir oleh BTI. Jika
                          melihat berita-berita koran periode 1964-1965, peristiwa
                          aksi sepihak sungguh menjangkiti banyak petani di desa-
                          desa, karena memang petani di desa-desa “lapar” akan
                          tanah. Walaupun di beberapa wilayah BTI mempraktikkan
                          aksi sepihak dengan menguasai  dan mengambil tanah,
                          namun kemudian diberikan kepada panitia landreform

                          agar dibagikan kepada rakyat (petani tuna kisma). Reali-
                          tasnya, benturan-benturan  itu tak  bisa dielakkan  dan
                          semakin nyata yang membuat gesekan semakin keras. Di
                          Jawa Timur aksi sepihak yang semakin marak membuat
                          ketegangan tak bisa dihindarkan. Para santri digunakan
                          oleh kelompok elite agama untuk ikut terlibat dan berkon-
                          frontasi langsung dengan petani-petani di bawah  BTI.
                          Meningkatnya ketegangan ini semakin tak  terbendung
                          sampai pertengah tahun 1965, bahkan antara petani yang
                          berbeda majikan dan ideologi saling berhadap-hadapan
                          mengambil lahan pihak lain (Sulistyo, 2000). Dalam situ-
                          asi demikian, provokasi akan menemukan momentumnya,
                          didukung  juga  pada  level elite,  konflik  juga semakin

                                                                             115
   146   147   148   149   150   151   152   153   154   155   156