Page 153 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 153
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
cul akibat hukum darurat perang (1957) yang dilanjutkan
kebijakan nasionalisasi perkebunan-perkebunan milik
Belanda (Rachman, 2017b). Pada kasus ini banyak kemu-
dian tentara (lembaga) memiliki perkebunan skala luas
yang dianggap sebagai balas jasa karena berhasil menum-
pas “gerombolan” yang bersarang di sekitar perkebunan.
Tentu saja yang dimaksud adalah kelompok-kelompok
yang mengincar tanah bekas-bekas milik perusahaan asing
(Syaharuddin & Salim, 2012).
Dalam UUPA Pasal 7 disebutkan, “untuk tidak meru-
gikan kepentingan umum maka pemilikan dan pengua-
saan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Konsekuensi dari pasal ini memunculkan banyak gerakan
liar (aksi sepihak) di bawah yang tidak mampu dikontrol
oleh negara. Baginya, petani harus menggarap sawah dan
pemilik sawah yang tidak digarap sendiri merupakan
kesalahan, menyimpang dari makna dan esensi pemberian
akan hak atas tanah (Soehadi, 1970a). Pidato Sukarno saat
lahirnya UUPA juga mendramatisir kata tersebut, sehingga
amunisi petani terlecut oleh kata-kata “ajaib” Sukarno yang
dengan tegas mengatakan, “… tanah tidak untuk mereka
yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-
gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang
disuruh menggarap tanah itu”.. (Sukarno, 1960).
Dalam kesaksiannya di depan Dewan Pertimbangan
Agung, Aidit secara tegas melakukan pembelaan atas apa
yang terjadi di akar rumput. Menurutnya petani tidak
boleh dipersalahkan, karena negara harus bertanggung
jawab terhadap semua persoalan yang terjadi, akibat
117