Page 150 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 150
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
landreform berjalan di wilayah tersebut akibat tuan tanah,
birokrat korup, pemuka agama tertentu, dan lintah darat
memiliki kepentingan terselubung dan menentang
landreform-revolusioner (Aidit, 1964).
Penelitian Aidit ini mengilhami banyak aksi yang
kemudian dianggap sebagai biang dari kerusuhan dan
aksi-aksi sepihak yang dilakukan oleh para petani di
bawah koordinasi BTI. Tuduhan ini memiliki korelasi
karena statemen Aidit yang membela petani merebut
tanah karena menganggap mereka berhak. Dengan demi-
kian, aksi sepihak semakin kencang di akhir 1964 dan awal
1965. Kenyataannya, sebagaimana temuan Aidit dkk., ada
banyak kelompok yang dengan sengaja menghambat
kerja-kerja panitia landreform di desa-desa akibat keku-
asaan dan kekuatan feodal yang masih bercokol. BTI
mengambil sikap melawan dengan cara protes dan aksi
sepihak, menyerobot tanah-tanah milik tuan tanah dan
birokrat lokal, termasuk juga kelompok-kelompok Islam
yang memiliki tanah lebih dari ketetapan UU (Kusni,
2005).
Pada awal tahun 1965, isu persoalan para penghambat
landreform di daerah bukan hanya diserukan oleh BTI
tetapi juga oleh pihak lain karena melihat lambannya
kerja-kerja landreform di desa yang diduga kuat akibat
kejahatan-kejahatan pihak-pihak yang dirugikan akibat
kebijakan landreform. Dalam banyak kasus pengadilan
landreform juga memunculkan persoalan-persoalan
penipuan, di antaranya hibah palsu dan penyelundupan
tanah ke pihak-pihak lain agar terhindar dari pengambilan
114