Page 155 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 155
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
adanya pelatihan ormas tani tentang Landreform yang akan
dikirim ke bawah (Chalid, 1965).
Harus diakui, beberapa konflik di pedesaan terjadi
antara BTI dengan Pertanu atau masyarakat NU khusus-
nya masalah tanah-tanah waqaf, baik waqaf untuk lem-
baga keagamaan khusus maupun pesantren. Hal ini men-
jadi persoalan karena tanah waqaf yang diberikan oleh
warga untuk pesantren digunakan untuk penghidupan
di pesantren, namun karena sistem administrasi pedesaan
yang belum rapi, semua tanah tersebut diatasnamakan
kyai sebagai pemegang atau pemilik pesantren. Kondisi
ini memperparah situasi karena banyak anggota BTI tidak
memahami situasi dan kondisi bagaimana pola kerja dan
sistem yang diterapkan di pesantren dalam mengelola
tanah waqaf. Namun muncul juga perilaku menyimpang
untuk menyelamatkan tanah dengan cara melakukan
hibah dan waqaf palsu, sekalipun hal itu dikutuk keras
oleh K.H. Idham Chalid dan tokoh NU lainnya (Luthfi,
2018b).
Dukungan senada juga disampaikan oleh KH. Farid
Ma’ruf yang meyakini ada persoalan di desa yang menurut
pandangannya tuan tanah dan aparat telah bermain un-
tuk kepentingan tertentu:
Menurut penyelidikan, pelaksanaan Landreform sangat seret
sekali. Gerakan kaum tani belum kuat melaksanakan UUPA dan
UUPBH. Tuan tanah memperoleh bantuan dari pejabat yang
kurang baik. Lemahnya organisasi dan langgam kerja aparatur
Landreform. Kurang pengertiannya masyarakat Indonesia
mengenai wakaf. Kebudayaan Revolusioner harus memberantas
119