Page 152 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 152
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
mengeras sampai akhirnya “meletus” pada tanggal 31 Sep-
tember 1965. Peristiwa 1965 itu sendiri terdapat banyak
versi, namun realitas di bawah antara petani satu dengan
lainnya sudah terjadi gesekan sejak 1964, ketika Aidit
mengkampanyekan hasil penelitiannya yang mengiden-
tifikasi 7 setan desa sebagai penghambat landreform. Tak
terhindarkan, ilham dari istilah 7 setan desa kemudian
diidentikkan dengan beberapa pihak di desa dan menjadi
sasaran kelompok tani progresif. Situasi tersebut menjadi
kayu bakar pertama menuju peristiwa 1965, dan persoalan
elite di level atas memanfaatkan situasi di bawah yang
sebagian menganggap revolusi telah siap dijalankan.
Salah satu alasan penting untuk dikemukakan adalah
fakta bahwa objek-objek landreform di pedesaan lebih
banyak pada tanah-tanah kelebihan maksimum dan ab-
sentee, sehingga petani vis a vis dengan pemilik tanah.
Landreform gagal menarik tanah-tanah bekas perkebunan
skala luas, bekas erfpacht (HGU) akibat kesepakatan KMB
1949 yang melepaskan perkebunan skala besar menjadi
objek landreform, sehingga konsentrasi masyarakat akhir-
nya tertuju pada tanah pertanian milik warga/tuan tanah.
Perkebunan skala luas bekas Belanda tetap eksis dan
kemudian dikonversi menjadi HGU. Ada dua kekuatan
yang membuat kegagalan perkebunan luas tidak menjadi
objek landreform, pertama Konferensi Meja Bundar 1949,
sebuah negosiasi politik Indonesia dan Belanda. Belanda
menetapkan syarat mengenai pengembalian harta milik
Belanda sebagai syarat untuk pengakuan Kemerdekaan
Indonesia. Kedua kelas pengusaha dari tentara yang mun-
116