Page 148 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 148
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
Landreform berdasarkan pelaksanaan UUPA dan UUPBH
sebenarnya merupakan garis kompromi, belum sepenuhnya
menurut Djerek dan Dekon. Garis kompromi diterima agar
penggalangan persatuan revolusioner berporoskan Nasakom
dapat diperkokoh dan perjuangan anti imperialis khususnya
perjuangan mengganyang Malaysia dapat diperhebat.
Melaksanakan UUPA dan UUPBH diperlukan untuk semua, agar
perjuangan anti imperialis menjadi kuat, dapat membangkitkan
kegairahan kaum tani untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
negeri, menciptakan kekuatan pasar dalam negeri, penambahan
penghasilan dan daya beli kaum tani.
Menunda dan menghentikan pelaksanaan UUPA dan UUPBH,
memusuhi kaum tani adalah omong kosong, karena Front Nasional
Revolusioner berporoskan Nasakom justru diperlemah. UUPA
dan UUPBH harus dikerjakan serius dan tepat.
Yang harus diperbaharui adalah cara-cara penyelesaian sengketa
berlandaskan Deklarasi Bogor yaitu mengutamakan sistem
konsultasi, musyawarah tanpa intinuasi, intimidasi, dan senjata.
Kecuali Masjumi dan PSI, semua golongan dan partai dalam
DPRGR sudah menyetujui UUPA dan UUPBH. Untuk menjawab
sikap kaum reaksioner sungguh sulit karena mereka mengadu
domba, memecah partai Nasakom dan ormas nasakom terutama
NU, PNI dan PKI (Asmu, 1965).
Praktik di lapangan, beberapa persoalan cukup sulit
dikendalikan, karena sebagaimana laporan di atas, banyak
pihak-pihak yang terkena dampak langsung dari program
landreform kemudian melakukan perlawanan dengan
berbagai cara, penyelundupan tanah, manipulasi data, dan
melakukan adu domba antar pihak (Kodiran, 1991). Stra-
tegi ini memang menjadi persoalan serius karena di DPR,
Masyumi dan PNI sebagai kelompok birokrat dan Islam
memiliki banyak elite di desa yang juga memiliki banyak
112