Page 249 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 249
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
carkan kegiatan tersebut. Menteri Dalam Negeri memiliki
sumber daya manusia yang cukup untuk melibatkan
semua pihak di bawah koordinasinya, karena PRONA jelas
proyek yang besar dan membutuhkan anggaran besar dan
SDM yang banyak (Herry, 2012; Tolo, 2017a).
Proyek PRONA dianggap solusi dalam mempercepat
pendaftaran tanah di Indonesia, hal itu ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi masyarakat mengalami pening-
katan. Pada saat yang sama, perkembangan ekonomi In-
donesia secara makro juga mengalami pertumbuhan yang
pesat, sehingga pemerintah semakin gencar menjalankan
PRONA. Dalam berbagai laporan pelaksanaan PRONA di
daerah, masyarakat banyak yang menyambut positif ka-
rena sangat membantu masyarakat di dalam pengurusan
tanah. Sekalipun tak sedikit yang mengkritik kebijakan
tersebut karena di lapangan praktiknya mengalami banyak
masalah, seperti pungutan liar dan sertifikat gagal terbit
karena berbagai alasan (Megawati et al., 2018).
Pada saat yang sama, tahun 1981 Thailand dengan
Bank Dunia sedang menyiapkan untuk pengembangan
kapasitas dan membantu memastikan hasil berkelanjutan
bagi pemerintah Thailand di bidang pertanahan. Artinya,
tidak terlalu jauh, antara PRONA dan land titling di kedua
negara tersebut, tidak diketahui apakah PRONA terinspi-
rasi dari rencana Thailand atau sebaliknya. Pada tahun
1984, Thailand resmi menjalankan land titling project per-
tama lintas sektor dengan dukungan Bank Dunia. Proyek
ini akan berlangsung selama 20 tahun sampai tahun 2004
dan akan menjadi konsentrasi Thailand di dalam mem-
213