Page 292 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 292
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
dalam hal urusan teknis, sementara kebijakannya tetap
terpusat. Ryaas Rasyid sebagai tokoh Otonomi Daerah ter-
masuk yang mendorong hal tersebut, agar pemerintah
mengefektifkan kewenangan daerah dalam hal-hal teknis
dan BPN harus didorong untuk dilimpahkan kewenangan
teknisnya kepada pemda. Jika demikian maka seluruh
pegawai BPN harus dipindahkan ke Pemda Tingkat I dan
II karena struktur BPN ada di seluruh kabupaten/kota
(Rachman, 2013a).
Hal yang menarik pasca pengumuman kabinet dan
pernyataan Ryaas Rasyid menjadikan BPN sebagai institusi
memobilisasi dirinya untuk melakukan unjuk rasa me-
nentang kebijakan Gus Dur dengan mendatangi DPR,
tujuannya memprotes pernyataan Ryaas Rasyid dan
menolak pembubaran BPN dengan menyerahkan BPN ke
pemda. Sebuah tradisi yang sangat langka lembaga peme-
rintah menentang kebijakan pemerintahannya sendiri.
Tentu menarik bagi banyak pihak termasuk pers karena
lembaga agraria untuk pertama kalinya mempertanyakan
eksistensi lembaganya dengan cara unjuk rasa. Langkah
ini menarik perhatian banyak pihak dan seperti biasa, Gus
Dur bergeming tidak kunjung melantik Kepala BPN. Sikap
acuh Gus Dur kemudian memancing para elite BPN dan
Keluarga Besar BPN yang dipimpin oleh Hasan Basri Durin
(Kepala BPN 1998-1999) bersurat kepada Presiden dan
Wakil Presiden secara terbuka, intinya menuntut agar
keberadaan BPN harus dilanjutkan agar bisa menjalankan
kebijakan UUPA yakni landreform. Surat terbuka tersebut
menurut Rachman (2013a) dimuat dalam Media Repub-
256