Page 298 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 298

M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.

                        antaranya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),  Per-
                        kumpulan Hukum Masyarakat (Huma), Bina Desa, dan
                        Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengu-
                        sulkan kepada Presiden Megawati sebuah lembaga penye-
                        lesaian konflik, yakni Komisi Nasional untuk Penyelesaian
                        Konflik Agraria (KNUPKA) (Setiawan, 2004). Tawaran itu
                        dilakukan pada tahun 2004, namun Presiden Megawati
                        menolak karena menganggap sudah banyak lembaga-lem-
                        baga dibentuk, dan sebaiknya untuk penyelesaian konflik
                        agraria memanfaatkan lembaga yang ada. Penolakan terse-
                        but menutup upaya berbagai pihak yang memperjuang-
                        kan agar ada sebuah lembaga di  bawah presiden  yang
                        mengatasi sengketa konflik agraria.
                            Singkatnya, sekalipun tahun 2001 muncul Tap MPR
                        IX/2001 yang salah satu perintahnya melakukan pemba-
                        haruan agraria dan penyelesaian sengketa konflik, namun

                        dua persoalan tersebut tak kunjung berhasil diselesaikan.
                        Bahkan konflik agraria dari tahun ketahun eskalasinya
                        semakin meningkat. BPN kehilangan momentum untuk
                        menjalankan RA yang sebenarnya sudah dijanjikan. Pada-
                        hal, di daerah, pergolakan dan konflik atas lahan-lahan
                        HGU yang dilakukan reclaiming oleh warga cukup men-
                        jadi alasan bagi BPN untuk menjalankan RA sesuai tun-
                        tutan warga sekaligus peirntah Tap MPR IX/2001. Di sini
                        kesan kemudian muncul di  masyarakat, BPN  dianggap
                        tidak serius menjalankan Tap MPR di atas, karena lebih
                        banyak membiarkan persoalan berlarut di daerah. Dalam
                        bahasa lain, BPN lebih memilih membuat pilihan kebija-
                        kan “tanpa membuat kebijakan” (penyelesaian konflik).

                         262
   293   294   295   296   297   298   299   300   301   302   303