Page 71 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 71
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
Setelah Willem Daendels memberlakukan tanah parti-
kelir, Hindia Belanda di bawah kekuasaan Inggris
Gubernur Jenderal baru yang berkuasa di Hindia Belanda
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengusung per-
soalan pajak tanah atau landrent bagi warga Hindia Belan-
da. Raffles menyimpulkan dengan berbagai pengamatan
dan observasinya, kepemilikan tanah-tanah di daerah
swapraja di Jawa adalah milik para raja dan rakyat hanya
memanfaatkannya atau menggarap di atas tanah raja.
Pengamatan Raffles yang jeli kemudian melahirkan
kebijakan pajak tanah karena rakyat dianggap mampu
menyewa kepada raja, dan kekuasaan Inggris atas Hindia
Belanda berarti juga kekuasaan atas tanah, maka saatnya
bagi Raffles untuk memungut pajak dari mereka. Pe-
mungutan pajak dilakukan Raffles dengan cara meng-
koordinir kepala desa yang diberi kekuasaan untuk me-
mungut, menetapkan jumlah sewa dan pajak kepada para
petani pemilik dan penggarap tanah. Kekuasaan kepala
desa sangat besar karena mandat dari Raffles, termasuk
mengadakan perubahan-perubahan jika diperlukan, asal
pajak tanah yang masuk ke Raffles lancar. Raffles benar-
benar mengubah logika dan cara berf ikir sistem adat,
kerajaan, dan kolonial yang berlaku sebelumnya tentang
feodalisme atau kekuasaan atas tanah. Kewenangan kepala
desa dengan kontrol penuh Raffles mampu mengubah
sistem sewa dan pajak tanah, sehingga kekuasaan kepala
desa cukup besar dan ikut mengubah peta penguasaan
tanah di Hindia Belanda (Harsono, 1970; Santoso, 2015).
Beruntung bagi Belanda dan Raja-raja di Jawa, Raffles
35