Page 73 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 73
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
setengah generasi (± 40 tahun), menjadikan warga Hindia
Belanda hidup dalam tekanan dan kesengsaraan yang
tiada akhir (Iswahyudi, 2020; Susilo & Sarkowi, 2020).
Tanam paksa kemudian berakhir sebagai politik
konservatif saat terjadi perubahan kebijakan politik kolo-
nial di bidang agraria yakni 1870 saat dikeluarkannya
kebijakan terkait tanah di negeri jajahan, Agrarische Wet
(Hermawati, 2013; H. Kurniawan, 2015). Periode ini dalam
khasanah politik kebijakan agraria dikenal dengan politik
liberal, karena dengan Agrarische Besluit, sistem agraria
konservatif berubah dan berbagai pihak swasta yang ingin
berinvestasi di Hindia Belanda dibuka. Artinya, keran
politik liberal dimulai di Hindia Belanda dan semua akses
atas agraria dimungkinkan untuk dilakukan. Sementara
dari sisi pemerintah, terjadi perubahan kebijakan yang
dikenal dengan politik balas budi atau politik etis. Peme-
rintah Belanda mencoba berfikir etis atas kebijakan masa
lalu yang mengorbankan banyak petani pribumi (tanam
paksa), kemudian membuka akses lebih luas untuk warga
pribumi Hindia Belanda di bidang: edukasi dengan men-
dirikan lembaga pendidikan untuk rakyat Indonesia;
irigasi dengan membangun saluran-saluran pengairan
untuk lahan pertanian masyarakat, dan imigrasi dengan
membuka ruang perpindahan penduduk padat ke daerah
yang jarang dan menjadi tenaga kerja di perkebunan swas-
ta Belanda. Sejarawan menyebut periode balas budi ini
sebagai tindak lanjut dari berbagai kritik kelompok kiri
Belanda maupun aktivis pergerakan di Indonesia. Walau-
pun terlambat, kebijakan ini sedikit memberi “nafas”
37