Page 78 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 78
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
adalah untuk menetapkan bagian dari masing-masing
pemilik tanah dalam pajak tanah serta untuk menyelesai-
kan perkara-perkara atas tanah (Penyuluh Landreform dan
Agraria, No. 3-4, 1974). Namun pada periode tersebut,
kadaster dianggap tidak dijalankan dengan sebenarnya,
sehingga pada tahun 1770 tugas tersebut diserahkan
kepada para ahli ukur yang merupakan instansi tersendiri
dengan tugas yang dahulu dipegang oleh Heemsraden.
Lembaga tersendiri di bawah ahli ukur ini memiliki tugas:
Pemetaan bidang-bidang tanah; pendaftaran bidang-
bidang tanah dalam daftar tanah; pemeliharaan peta daf-
tar tanah; pemberian landmeters briefye (surveyor). Pada
tahun 1809 kantor ahli ukur tersebut dihapuskan dan
sebagai penggantinya diangkatlah ahli ukur dan disum-
pah (gezworen landmeter) yang tidak menerima gaji dari
pemerintah. Sebagai penghasilan mereka diambilkan dari
jasa-jasa yang mereka berikan kepada masyarakat dan
ditentukan menurut tarif (Soedargo, 1970b).
Pada periode ini dapat disimpulkan bahwa penyeleng-
garaan administrasi pertanahan dengan hak Barat telah
menggunakan peta-peta dari daftar sudah muncul, sema-
cam kadaster tetapi pengaturannya belum sistematis dan
terperinci. Tugas ini sebelum diundangkannya Ordonansi
Balik Nama dilaksanakan oleh ahli ukur Pemerintah Kolo-
nial. Sementara pendaftaran peralihan hak yang semula
hanya bersifat administratif dan pajak berguna juga untuk
penguasa dan selanjutnya berkembang hingga mempunyai
unsur menjamin kepastian hukum. Tugas ini diselengga-
rakan oleh Dewan Scheepen, sedangkan akta dibuat oleh
42