Page 99 - Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Indonesia Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor
P. 99

Ahmad Nashih Luthfi


               kesejahteraan) berlaku di Jawa, dan diakui oleh Ratu Wilhel-
               mina. 49  Kemerosotan tersebut merupakan “konsekuensi” dari
               dipisahkannya penduduk Jawa dari sumber-sumber produksi
               mereka. Banyaknya jumlah korporat perkebunan tidak berkore-
               lasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. 50  Karena-
               nya, akar persoalannya semestinya dicari dari sebab-sebab yang
               bersifat struktural. Kemerosotan itu bukan suatu “kondisi” yang
               lazimnya dikaitkan dengan persoalan mental, ketidakmampuan
               mengakses modal, pengetahuan, dan pasar produksi.
                   Gagasan “Politk Etis” diturunkan dari kenyataan sosial-eko-
               nomi saat itu yang dialami oleh penduduk pribumi, selain penga-
               ruh ide-ide doktrin Calvinis. Basis moral inilah yang dikemu-
               kakan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, setelah ia tidak mene-
               mukan argumen yang tepat tentang kaitan antara kondisi finan-
               sial negeri Belanda dan tanah jajahan, ketika yang terakhir ini
               menderita kemerosotan, sementara di negeri Belanda menerima
               saldo. Di sinilah gagasan “hutang budi” (een eereschuld) muncul.
               Di dalam pidatonya tanggal 21 November 1901, Idenburg
               menyatakan,

                   “Saya ingin mengatakan demikian: jelaslah bahwa Hindia Belanda
                   mengalami kondisi sulit dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
                   urgen. Negeri Belanda telah mengingatkan dirinya, bahwa tidak
                   berapa lama dalam dekade-dekade lalu, negeri induk ketika
                   mengalami penderitaan telah ditolong oleh negeri jajahannya, dan
                   biaya yang tersisa tidak mencukupkan kebutuhan penduduk
                   pribumi Hindia”.

                   “.....bukan demi meningkatkan kepemilikan kita, kekuasaan kita,
                   kehormatan kita, juga bukan kapital kita di negeri kolonial ini,
                   akan tetapi demi kemajuan penduduk Pribumi”.



                   49  Ibid.
                   50  Jumlah korporat perkebunan naik tajam dari 1500 (tahun 1890) menjadi
               2500 (1913), peningkatannya hingga 60%. Setiap korporasi memiliki jumlah
               perkebunan yang variatif: 1, 3, hingga 20 perkebunan. Lihat J.N.F.M. á Campo,
               “Munculnya Perusahaan Korporat di Indonesia pada Masa Kolonial, 1893-1913”,
               dalam J. Thomas Lindblad (Ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (Yogyakarta:
               PSSAT-UGM dengan Pustaka Pelajar, 2002), hal. 96.
               46
   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104