Page 118 - Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan
P. 118
Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007
• Penguasaan terhadap tanah sebagai cara mengarti-
kulasikan identitas kultural. Pada banyak komunitas,
keterkaitan antara tanah dan identitas kultural ini sangat
kuat sebagaimana muncul melalui pernyataan dan mito-
logi lokal yang menggambarkan bagaimana tanah
dipersepsikan sebagai ‘ibu’ yang menjadi cikal bakal serta
melahirkan kehidupan pada komunitas tersebut. Suku
Simuri di Papua, misalnya, menyebut tanah dengan istilah
‘wane’ (Wiwaron, et.al., 2005) dan Suku Kajang di Sula-
wesi menyebutkannya dengan istilah ‘angrongta’ (Arsyad,
2005). Tanah dengan demikian mempunyai nilai yang
lebih dari sekedar sumber daya ekonomi. Tanah adalah
arena bagi berbagai kepentingan yang sangat kompleks.
Secara ekonomi, tanah penting sebagai sumber kehidupan
namun, tanah adalah pula wilayah kedaulatan bagi berla-
kunya pengaturan lokal. Lebih dari itu, tanah adalah pula
sebuah alamat bagi keberadaan komunitas secara kultural.
Laksono (2002: 382) misalnya mengatakan bahwa tanpa
tanah maka sebuah kebudayaan tidak mempunyai alamat
untuk menelusuri sejarahnya dan membayangkan sesuatu
bagi masa depannya. Implikasi dari semua ini adalah keya-
kinan bahwa tanah tidak dapat dialihkan penguasaannya
kepada pihak luar secara permanen. Saya menggaris-
bawahi kata permanen di sini untuk menunjukkan bahwa
peralihan hak secara temporal seperti halnya penyewaan
masih dimungkinkan terjadi. Dalam praktiknya hal ini
dilakukan oleh banyak komunitas masyarakat adat
seperti penyewaan tanah ulayat nagari kepada perusa-
haan-perusahaan Belanda di masa kolonial (lihat
Narihisa, 2002: 189-2002). Sayangnya, hukum, kebi-
71