Page 156 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 156

144   Tri Chandra Aprianto


            dengan sociteit gebouw tempat berkumpulnya orang-orang Belanda
            tidak  ada  lagi kegiatan. Rasanya  bangunan-bangunan  kosong itu




            hanya menjad  monumen bahwa kolonialisme pernah singgah


            kota  perkebunan  ini. Semua  energi masyarakat  perkebunan  lebih
            fokus  pada  pengelolaan  tanah-tanah  perkebunan  guna  mengisi
            kebutuhan konsumen lokal.
            B.  Pengambilan Paksa dan Perlawanannya

                Transformasi agraria  baru  sedang berjalan, akan  tetapi belum
            menemukan   bentuknya. Inisatif  melakukan  transformasi agraria
            baru  tersebut  melibatkan  partisipasi masyarakat  perkebunan,
            yang itu  juga  mendapat  dukungan  dari berbagai agenda  ekonomi
            politik  di tingkat  nasional (baik  oleh  organisasi masyarakat
            maupun   pemerintah) tersebut  belum   dapat  berjalan  dengan
            baik. 30  Partisipasi masyarakat  tiba-tiba  dihentikan  oleh  kehadiran
            kaum  ondernemer   lama  yang mengganggap   masih  memegang
            hak erfpacht.  Kedatangan para pengusaha perkebunan di wilayah
                        31
            Karesidenan  Besuki mendapat  dukungan  penuh  dengan  tindakan
            agresi militer pada 21 Juli 1947. Sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda
            sudah  memutuskan  bahwa  mereka  harus  menyerang  RI  secara
            langsung. Biaya  pemeliharaan  suatu  pasukan  bersenjata  sekitar

              serdadu   Jaw  y  sebagian besar aktif



            30  Problem  dekolonisasi menjadi lebih  rumit  pada  tahun  1945-1950,
                dimana  terdapat  beberapa  persoalan  yang mendasar: (i) bongkar
                pasang kabinet yang mencapai sepuluh kali; (ii) masih adanya struktur
                organisasi kementrian yang masih mengacu pada struktur pemerintah
                kolonial; (iii) belum lagi dualisme kepemimpinan RI (Yogyakarta) dan
                RIS (Jakarta) yang juga  mempengaruhi penanganan  perekonomian.
                Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia, hlm. 137.
            31   Dison  Mulyadi,  Agresi  Militer  Belanda  di  Bondowoso,  (tidak
                diterbitkan), Laporan Penelitian UNEJ, 1996. Lihat juga pada Anthony
                Reid,  The  Indonesia  National  Revolution,1940-1950  (Hawthorn,
                Australia: Longman, 1974), hlm. 112. Lihat  juga  M.C. Ricklef, Sejarah
                Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1998), hlm. 213.
   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161