Page 164 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 164
152 Tri Chandra Aprianto
membentuk sikap perilaku buruh untuk sangat patuh kepada para
pengusaha. Situasi seperti itu terjadi hingga berlangsungnya aksi
ambil alih yang dilakukan masyarakat perkebunan pada paruh kedua
tahun 1950.
Hingga sebelum penyerahan kedaulatan (1949), situasi
di daerah perkebunan tidak begitu kondusif untuk dilakukan
pengelolaan tanah-tanah perkebunan. Benturan antara yang ingin
mengembalikan situasi pada struktur agraria pada masa kolonial
dengan yang ingin menata ulang struktur agraria tersebut menjadikan
situasi ekonomi perkebunan menjadi semakin rumit. Semua daerah
perkebunan di Karesidenan Besuki banyak mengalami teror dan
penembakan. Roda Pemerintahan tidak berjalan normal. Begitu
juga dengan perusahaan perkebunan dan kehutanan mengalami
kesulitan melaksanakan tugasny karena para pegawainya
merasa aman dalam melaksanakan pekerjaan. 56
C. Menyerah dan Melawan Struktur Agraria Lama
Keinginan untuk menggarap tanah-tanah perkebunan oleh
masyarakat harus dilew dengan meng tindak keker
sejak Belanda masuk kembali pada 1947. Anehnya lagi secara tiba-tiba
muncul keputusan Pemerintah Pusat yang meminta semua kegiatan
masyarakat di wilayah perkebunan dihentikan. Keputusan tersebut
sebagai konsekuensi dari hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
57
Semua tanah yang masih berstatus hak erfpacht harus diserahkan
58
pada pemiliknya, artinya kembali pada struktur agraria kolonial.
56 Menurut laporan dari Departemen van Economische Zaken en van
t
Landbouw en Vesserij Vertengenwoor Oost Javaentang tinjauan
ek Jawa Timur selama M 194 K Arsip K
Pertahanan, No. Inventaris: 1157.
57 Warta Sarbupri, No. 14-15 th. Ke IV achir Nopember 1953, halaman 287-
288. Tauchid, Masalah Agraria, hlm. 234-5.
58 Hal ini mengacu pada pengumuman bersama dari tiga Kementrian