Page 167 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 167

Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan  155


              terjadi manakala  masih  berlangsung dalam  struktur  agraria  kolonial.
              Ada  empat   kesepakatan  antara  masyarakat, pemerintah, dan
              para  penguasaha. Adapun  kesepakatan  tersebut  adalah, pertama,
              pembatasan  luas  tanaman  tembakau  para  petani yang semula  hanya
              3½ ha, diperluas menjadi sampai 10 ha. Kedua, ketetapan harga daun
              tembakau  dengan  harga  yang sudah  dipastikan. Ketiga, kedudukan
              para  pengusaha  tidak  lagi sebagai “heer-meester” melainkan  sebagai



              badanpengawasdanpembimbing  Keempat, untuk menghindari segala
              kemungkinan, dibentuk suatu Panita Pengawas yang tediri dari Jawatan
              Pertanian Rakyat, Jawatan Perkebunan dan Jawatan Gerakan Tani, hal
              ini dianggap penting manakala timbul berbagai macam kesulitan dalam
              perjalannya, maka berbagai pihak yang menjadi Panitia Pengawas ini
              berkewajiban untuk menyelesaikan dan menentukan keputusannya. 62

                  Adanya  kesepakatan  tersebut  bukan  berarti permasalahan  di
              atas perkebunan berakhir dan bisa melanjutkan produksi. Terdapat
              permasalahan baru yang itu merupakan ikutan dari adanya perang
              kolonial yaitu  keberadaan  para  laskar  rakyat. Mereka  muncul
              saat  musim  berperang, tetapi pada  musim  berdamai keberadaan



              mereka tidak bisa   Sebagian besar mereka telah ber




              dengan  masyarakat  perkebunan  di daerah  Jember  bagian  selatan.
              Tanah-tanah  perkebunan  yang sudah  mereka  duduki sangat  sulit
              untuk  dimasukkan  dalam  kesepatakan  di atas. Pada  tahun  1953
              mereka mulai mengajukan ke pemerintah untuk menjadikan tanah
              bekas perusahaan perkebunan tersebut sebagai tanah titisoro atau
              bengkok. 63  Setidaknya  tanah-tanah  bekas  perkebunan  kemudian
              dikelola oleh masyarakat sebagai kekayaan desa-desa disekitarnya.
                  Berbagai situasi di atas, bukan hal yang mudah untuk dipecahkan
              oleh  Pemerintah  Daerah  Jawa  Timur.  Pada  saat  bersamaan



              62  Djawatan  Penerangan  Republik  Indonesia  Propinsi  Djawa  Timur,
                  Propinsi, hlm. 439-50.
              63  Djawatan  Penerangan  Republik  Indonesia  Propinsi  Djawa  Timur,
                  Propinsi, hlm. 428.
   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171   172