Page 170 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 170

158   Tri Chandra Aprianto


            400,-; (ii) penanaman  kopi perpohon  dihargai Rp. 10,-; (iii) bantuan
            pembuatan  rumah  berukuran  besar  sebesar  Rp. 80,-; (iv) bantuan
            pembuatan rumah berukuran sedang sebesar Rp. 60,-. Proses kerja sama
            ini tidak berumur panjang, karena pada tahun 1953, pihak perusahaan
            tidak mampu mengelola tanah-tanah dan pada akhirnya menyerahkan
            semua tanah tersebut kepada masyarakat guna dikelola secara mandiri.
            Sejak itu pula masyarakat harus mulai membayar pajak ke negara.

                Kemudian  sejak  tahun  1954, pemerintah  mengeluarkan  surat
            ketetapan  kepada  masyarakat  yang telah  mengelola  tanah-tanah
            tersebut untuk membayar pajak sebesar Rp. 7,- (tujuh rupiah) setiap
            tahunnya. Hal yang sama juga terjadi di wilayah perkebunan Karang
            Baru, setiap warga di wilayah tersebut menerima surat ketetapan, dan

                                                                        66
            pembayaran pajak oleh warga efektif berjalan selama lima tahun.
            Hal ini menandakan  terdapatnya  proses  legalisasi atas  tindakan
            masyarakat perkebunan di Ketajek dan Karang Baru.
                Sebelum itu pada tahun 1950, masyarakat di daerah Sukorejo telah
            mengajukan beberapa permohonan kepada Gubernur Jawa Timur di
            Surabaya, (i) agar hak erfpacht di wilayah ini tidak diperpanjang, (ii)

            lahan  yang telah  dimanfaatkan  itu  dibagikan  kepada  massa  rakyat
            tani serta dijadikan tanah yasan. Hal itu diulangi lagi pada tanggal
            1 Desember  1954 dengan  mengajukan  permohonan  yang serupa.




            Namun mengingat   daerah Sukorejo pada awal-aw  masa agr





            militer Belanda juga dijadikan bent  perlawanan r


            atas  dasar  hal itu  pada  tahun  1952 pihak  Distrik  Militer  (sekarang
            Kodim) meminta tanah seluas 22.75 hektar guna bangunan Militer
            Dipo Batalyon AD dengan ganti rugi tanaman sebesar Rp. 2.500/ha.
            Hingga pada akhirnya saat terjadi nasionalisasi dimana pihak Militer
            Distrik memerankan peranan penting di daerah ini. 67
            66  Laporan  Forum  Solidaritas  Petani Tapal Kuda,  (Tidak  diterbitkan),
                2000.
            67  Laporan  Forum  Solidaritas  Petani Tapal Kuda, (tidak  diterbitkan),
                2000.
   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174   175